Senin, 14 September 2009

Wahabi / salaf / salafi / salafy dan masalah perbedaan pendapat

Setelah kita mengenal siapakah Wahabi yang tidak lain adalah Ahlus Sunnah itu sendiri, maka kiranya pernyataan atau anggapan di atas yang mengesankan bahwa mereka tidak menghormati perbedaan furu’iyyah adalah mengada-ada dan ‘informasi yang tidak bertanggung jawab’.

Tidak usah jauh-jauh. Tidakkah mereka melihat bagaimana Syaikh Al Albani rahimahullah dan mayoritas para ulama Saudi berbeda pendapat dalam hal hukum mengenakan cadar, sebagaimana perbedaan pendapat ulama mazhab yang terdahulu? Tidakkah mereka melihat bagaimana perbedaan pendapat Syaikh Al Albani dengan banyak ulama Saudi tentang meletakkan tangan di atas dada ketika I’tidal? Tidakkah mereka melihat perbedaan pendapat antara para ulama yang mewajibkan mandi sebelum shalat Jumat dengan yang tidak mewajibkannya, atau perbedaan mereka tentang wajib tidaknya mengqashar shalat bagi orang yang sedang bersafar, atau perbedaan mereka tentang ‘mustauthin’ sebagai salah satu syarat sah untuk mengadakan shalat Jumat, atau perbedaan mereka tentang hukum mencukur sisa jenggot yang lebih dari satu genggaman tangan, dan sekian banyak perbedaan furu’iyyah lainnya?

Apakah gara-gara perbedaan ini mereka berpecah belah, bergolong-golongan, mendirikan berbagai macam kelompok, atau mengobarkan fanatisme mazhab? Bukankah selama ini dakwah salafiyah hanya mengajak untuk kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah as-Shahihah dengan pemahaman salaful ummah. Bukankah selama ini dakwah salafiyah menyeru umat Islam untuk melepaskan diri dari belenggu hizbiyah dan taklid buta. Bukankah selama ini dakwah salafiyah yang menyemarakkan dunia penerbitan di tanah air dengan buku-buku ilmiah yang bermutu dan dapat dipertanggung jawabkan. Bukankah selama ini para da’i dan aktifis telah banyak menimba ilmu dari para pengasuh madrasah salafiyah yang sangat mengenal seluk beluk perbedaan madzhab fiqhiyah semacam Ibnu Taimiyah, Ibnu Katsir dan Ibnul Qayyim rahimahumullah. Ataukah mereka tidak sempat membaca buku-buku fikih yang dikarang oleh para ulama seperti Syarh Al Mumti’ karya pakar fikih masa kini Syaikh Ibnu ‘Utsaimin atau Tamamul Minnah dan Shifat Shalat Nabi karya ahli hadits abad ini Syaikh Al Albani rahimahumallah. Aduhai, di manakah fikih waqi’ yang selama ini mereka dengung-dengungkan? Apakah ketika para ulama mengajak umat untuk memilih pendapat yang lebih kuat berlandaskan dalil dan argumentasi yang kuat adalah sebuah tindakan yang tidak menghormati perbedaan furu’iyyah? Sungguh hal itu adalah cara berpikir yang sangat sempit. Wallahul musta’an.

Apabila saudara-saudara kami masih merasa ragu tentang hal ini, padahal perkaranya sudah sangat jelas, silakan membaca dengan hati dan pikiran yang jernih tentang bagaimanakah kebijakan sikap para ulama Salafi -atau yang mereka juluki dengan nama Wahabi ini- di dalam Kitabul ‘Ilmi hal. 265-286 karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah dalam pembahasan berjudul Al Khilaf baina Al ‘Ulama. Berikut ini kami nukilkan sedikit penjelasan beliau agar jelas bagi kita bagaimanakah sikap kita yang semestinya dalam mengatasi perselisihan yang ada di antara para ulama. Syaikh menjelaskan, “Maka kewajiban bagi setiap orang yang memahami dalil untuk setia mengikuti dalil tersebut meskipun dia harus menyelisihi sebagian imam selama hal itu tidak bertentangan dengan ijma’ (konsensus umat Islam). Barang siapa yang meyakini bahwa ada orang selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang wajib diambil pendapatnya demi mengerjakan atau meninggalkan sesuatu dalam semua keadaan dan waktu, sesungguhnya dia telah bersyahadat kepada selain Rasul dan menyematkan pada orang tersebut keistimewaan risalah. Sebab tidaklah memungkinkan bagi orang selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang pendapatnya dihukumi seperti ini. Kecuali hanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sajalah yang disifati demikian. Tidak ada satu orang pun kecuali pendapatnya bisa diambil atau ditinggalkan selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Kitabul ‘Ilmi, hal. 282).

Syaikh juga menasihatkan kepada segenap penuntut ilmu untuk berlapang dada dalam menyikapi perbedaan pendapat yang muncul dari hasil ijtihad yang dibenarkan. Beliau rahimahullah memaparkan, “Hendaknya dia berlapang dada ketika menghadapi masalah-masalah khilaf yang bersumber dari hasil ijtihad. Sebab perselisihan yang ada di antara para ulama itu bisa jadi terjadi dalam perkara yang tidak boleh untuk berijtihad, maka kalau seperti ini maka perkaranya jelas. Yang demikian itu tidak ada seorangpun yang menyelisihinya dimaafkan. Bisa juga perselisihan terjadi dalam permasalahan yang boleh berijtihad di dalamnya, maka yang seperti ini orang yang menyelisihi kebenaran dimaafkan. Dan perkataan anda tidak bisa menjadi argumen untuk menjatuhkan orang yang berbeda pendapat dengan anda dalam masalah itu, seandainya kita berpendapat demikian niscaya kitapun akan katakan bahwa perkataannya adalah argumen yang bisa menjatuhkan anda.”

Beliau melanjutkan, “Yang saya maksudkan di sini adalah perselisihan yang terjadi pada perkara-perkara yang diperbolehkan bagi akal untuk berijtihad di dalamnya dan manusia boleh berselisih tentangnya. Adapun orang yang menyelisihi jalan (manhaj) Salaf seperti dalam permasalahan akidah, maka dalam hal ini tidak ada seorangpun yang diperbolehkan untuk menyelisihi Salafush shalih. Akan tetapi pada permasalahan lain yang termasuk medan pikiran, tidaklah pantas menjadikan khilaf semacam ini sebagai alasan untuk mencela orang lain atau menjadikannya sebagai pemicu permusuhan dan kebencian.” (Kitabul ‘Ilmi, hal. 28-29).

Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Maka menjadi kewajiban para penuntut ilmu untuk tetap memelihara persaudaraan meskipun mereka berselisih dalam sebagian permasalahan furu’iyyah. Hendaknya yang satu mengajak saudaranya untuk berdiskusi dengan cara yang santun dan didasari keinginan untuk mencari wajah Allah serta untuk memperoleh ilmu. Dengan cara inilah akan tercapai hubungan baik, dan sikap keras dan kasar yang ada pada sebagian orang akan bisa lenyap. Sebab terkadang perselisihan justru menyulut terjadinya pertengkaran dan permusuhan di antara mereka. Keadaan seperti ini tentu menggembirakan musuh-musuh Islam. Padahal persengketaan yang terjadi di antara umat ini merupakan sebab datangnya bahaya yang sangat besar. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kalian berselisih yang akan menceraiberaikan dan membuat kekuatan kalian melemah. Dan bersabarlah sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS. Al Anfaal : 46).” (lihat Kitabul ‘Ilmi, hal. 31)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts with Thumbnails