Minggu, 26 Agustus 2012

BALASAN SANTUN TERHADAP PANTUN / SYAIR / SAJAK GUSMUS MUSTOFA BISHRI "AKU HARUS BAGAIMANA ".

‎(BALASAN SANTUN TERHADAP PIUSI GUSMUS / Mustofa Bisri "Aku harus bagaimana") :)

KAMU INI BAGAIMANA ? LALU MAUMU INI APA ?

- Nabimu telah bersabda bahwa semua bid'ah (dalam agama) adalah sesat
tapi kamu malah bilang tidak semua bid'ah sesat.

- Nabimu tidak pernah buat acara tahlilan
tapi kamu malah buat acara tersebut.

- Nabimu tidak pernah rayakan hari lahirnya dengan acara maulidan
tapi kamu malah rayakan dengannya.

- Nabimu memelihara janggutnya
tapi kamu malah berolok-olok dengannya.

- Nabimu mengenakan celana diatas mata kaki
tapi kamu malah bersendagurau dengannya.

- Nabimu telah mengajarkan cara bershalawat
tapi kamu malah mengambil dari selainnya.

KAMU INI BAGAIMANA ? LALU MAUMU INI APA ?

- Kami coba menasehati dirimu
tapi kamu malah anggap bahwa kami menghardikmu.

- kami coba jelaskan kepadamu suatu hukum
tapi kamu malah tuduh bahwa kami telah membid'ahkan dan mengkafirkanmu.

- kami coba ajak kamu ke persatuan kepada Al Quran dan As Sunnah
tapi kamu malah vonis kami sebagai da'i pemecah belah.

- kami coba ajak kamu untuk jauhi syirik dan bid'ah
tapi kamu malah juluki kami wahhabi.

YA SUDAHLAH....JIKA KAMU ANGGAP ORANG YANG MENGAJAK UNTUK JAUHI SYIRIK DAN BID'AH ADALAH SEBAGAI WAHHABI MAKA SILAHKAN JULUKI KAMI SEMAUMU...!!!

AKU PASRAHKAN KEPADA YANG MAHA MENGETAHUI...

Baca selengkapnya......

DOWNLOAD GRATIS FREE E BOOK MENGAPA ANDA MENOLAK BID'AH HASANAH ?

DOWNLOAD GRATIS FREE E BOOK MENGAPA ANDA MENOLAK BID'AH HASANAH ? 
KARYA: ABDUL QAYYUM MUHAMMAD AS SAHIBANI
BERISI BANTAHAN ILMIYAH TERHADAP SYUBHAT BID'AH HASANAH




>>> DOWNLOAD E-BOOK INI <<<

Baca selengkapnya......

Sabtu, 10 Desember 2011

Akhirnya mereka mengakui Siapa dan apa wahabi / salaf / salafi / salafy itu ? ( Inilah dia wahabi )

Ketua Muhammadiyah dan Ketua Umum Dewan Dakwah: Wahabi Bukan Teroris

Ketua PP Muhammadiyah: Tak ada hubungan antara Wahabi dan terror

Ketua Umum DDII KH Syuhada Bahri: Ada keinginan dari kelompok tertentu yang tidak ingin melihat Islam berkembang maju. Caranya, dengan mengkaitkan aksi teror dengan ajaran wahabi.

“Ajaran Wahabi itu mengajak untuk kembali kepada ajaran yang bersumber dari al-Quran dan Sunnah,” katanya.

Dia menjelaskan, kalau ajaran Wahabi ini dilaksanakan dan diketahui oleh umat Islam secara sadar, akan menjadi kekuatan yang dahsyat yang bisa membawa umat kepada kemajuan. Umat Islam tidak akan terpuruk jika berpegang kepada Al-Quran dan Sunnah.

Beritanya sebagai berikut:

Muhammadiyah: Tak Ada Hubungan Wahabi dan Terorisme

Salah satu Ketua PP Muhammadiyah mengatakan, sebagian orang tak paham tentang ajaran Muhammad bin Abdul Wahab. Tak ada hubungan antara Wahabi dan terror

Ajaran yang dikembangkan Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab adalah ajaran memurnikan tauhid. Jadi tak ada hubungannya dengan tindakan teror. Pernyataan ini disampaikan Ketua PP Muhammadiyah Dr Yunahar Ilyas, Lc di Jakarta, Selasa (4/8).

Pernyataan ini disampaikan pak Yun, begitu ia biasa dipanggil, seiring dengan berbagai stigma Wahabi yang diberikan oleh beberapa gelintir orang.

Sebagaimana diketahui, sejak kasus bom Kuningan, beberapa orang yang sesungguhnya tak mengerti Islam, tiba-tiba dibesarkan TV dengan mengeluarkan stigma Wahabi sebagai biang teror.

Yunahar mengatakan, ajaran pokok Muhammad bin Abdul Wahab adalah pemurnian ajaran Islam dari segala bentuk syirik dan khufarat yang berkembang pesat pada waktu itu. Dari segi fiqih Muhammad bin Abdul Wahab merupakan pengikut Imam Hambali, tetapi tidak fanatik.

Artinya, dakwah Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab ingin mengembalikan segala sesuatu praktik ibadah ke Al-Quran dan Sunnah. Ini yang disebut dengan kembali pada paham salafusholeh. Sedangkan dari tauhid, dia merupakan pengikut Ahlussunnah wal Jamaah, katanya menjelaskan.

Nah, menurut Dr Yunahar, sebagian orang tak paham dengan ini. Apalagi dengan tuduhan-tuduhan negatif, bahkan dikaitkan dengan terorisme.

Selanjutnya, ia juga menilai, dari segi ajaran apa yang disampaikan Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab tidak ada celanya. Apalagi dihubung-hubungkan dengan aksi terorisme. Dalam memerangi kemusyrikan, Muhammad bin Abdul Wahab bekerja sama dengan Muhammad bin Saud dari Kerajaan Saudi Arabia.

Karena itu, menurutnya, pengaitan terorisme dengan ajaran Muhammad bin Abdul Wahab adalah tidak betul. Kemungkinan terjadi salah paham atau ada maksud tertentu untuk mendiskreditkan Islam.

“Sasaran utamanya Islam, bukan hanya kelompok yang disebut Wahabi. Kalau umat Islam tidak kompak, tinggal menunggu momentum saja untuk memberangus kelompok Islam lainnya,” tuturnya.

Di samping itu juga, katanya, istilah Wahabisme sendiri tidak benar. Istilah ini berasal dari pihak luar Islam yang tidak senang dengan ajaran yang dikembangkannya. Dia sendiri dan pengikutnya menyebut sebagai al-muwahhidun, orang yang bertauhid, ucapnya.

Sementara itu secara terpisah, Ketua Umum DDII KH Syuhada Bahri mengungkapkan, ada keinginan dari kelompok tertentu yang tidak ingin melihat Islam berkembang maju. Caranya, dengan mengkaitkan aksi teror dengan ajaran wahabi.

“Ajaran Wahabi itu mengajak untuk kembali kepada ajaran yang bersumber dari al-Quran dan Sunnah,” katanya.

Dia menjelaskan, kalau ajaran Wahabi ini dilaksanakan dan diketahui oleh umat Islam secara sadar, akan menjadi kekuatan yang dahsyat yang bisa membawa umat kepada kemajuan. Umat Islam tidak akan terpuruk jika berpegang kepada Al-Quran dan Sunnah.

Dia menjelaskan, di Indonesia dahulu yang dianggap Wahabi itu organisasi Muhammadiyah, Persis, dan al-Irsyad. Dia mempertanyakan apakah organisasi-organisasi Islam ini mau disebut teroris. Padahal organisasi Islam tersebut telah lama memberikan kontribusi yang nyata untuk negeri ini, pungkasnya.

sumber: http://nahimunkar.com/767/ketua-muhammadiyah-dan-ketua-umum-dewan-dakwah-wahabi-bukan-teroris/

Baca selengkapnya......

Rabu, 07 Desember 2011

Pengaturan pengeras suara masjid

PENGATURAN PENGERAS SUARA MASJID

Mengacu kepada ayat Al Qur’an, Hadis Nabi serta instruksi Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji, dalam pelaksanaan shalat, ceramah agama dan lain sebagainya, penggunaan suara dari mikropon masjid seharusnya diarahkan kedalam masjid. Sedangkan suara keluar masjid hanya untuk azan dan pemberitahuan bahwa akan diselenggarakannya suatu kegiatan, misalnya pemberitahuan jadwal pengajian serta pengumuman penting lainnya.

Al-Qur’an

• Dalam surat Al A’raf ayat 55 Allah SWT berfirman : Berdo’alah kepada Tuhanmu dengan berendah hati dan suara lembut. Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang yang meampaui batas.

• “Dan sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai”. [al-A’râf :205]

Hadits

• Dalam hadis yang diriwayatkan Muttafaq Alaih : Kami berangkat bersama Rasulullah SAW, maka tatkala kami telah dekat ke Madinah, maka bertakbirlah Nabi dan bertakbirlah manusia, serta mereka mengeraskan suara mereka. Maka berkata Rasulullah SAW : Hai manusia sesungghnya zat yang kamu seru itu tidak tuli dan tidak jauh, sesungguhnya Tuhan yang kamu seru itu ada diantara kamu dan di antara leher kendaraan kamu (Doa oleh Dr. Miftah Faridl, halaman 26 – 27).


• Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah beri’tikaf di masjid lalu beliau mendengar mereka mengeraskan suara bacaan al-Qur’an, lalu beliau membuka tabir pemisah seraya bersabda, “Ketahuilah sesungguhnya masing-masing dari kalian bermunajat kepada Rabb-nya. Oleh karena itu, janganlah sebagian kalian mengganggu sebagian lainnya, dan janganlah sebagian mengangkat suara atas yang lainnya dalam membaca al-Qur’an.” Hadits Shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud



• Imam Malik dan Imam Ahmad telah meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari al-Bayadhi radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar menemui orang-orang yang sedang mengerjakan shalat, sementara suara mereka terdengar keras membaca al-Qur’an, maka beliau bersabda:“Sesungguhnya orang yang shalat itu bermunajat kepada Rabb-nya, karenanya hendaklah dia memperhatikan dengan apa dia bermunajat. Dan janganlah sebagian kalian mengeraskan suara atas sebagian yang lain dalam membaca al-Quran.” Hadits Shahih: Diriwayatkan oleh Malik.

• Disebutkan dalam Shahîhain, dari sahabat yang bernama Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Orang-orang mengangkat suara tatkala berdoa, sehingga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Wahai manusia. Tenangkanlah diri kalian. Sesungguhnya kalian tidak menyeru Dzat yang tuli atau yang tidak ada. Sesungguhnya Dzat yang kalian seru Maha Mendengar lagi Maha Dekat”. HR al-Bukhâri, no. 4205 dan Muslim, no. 2704.

Pernyataan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di Majalah Tempo tanggal 20 Februari 1982 ‘memprotes’ penggunaan mikropon masjid yang tidak tertib itu dalam tulisan berjudul “Islam Kaset dengan Kebisingannya”.

Dalam tulisan kolomnya, mantan presiden yang juga mantan Ketua Umum PB Nahdhatul Ulama itu mengingatkan, berjenis-jenis seruan untuk beribadat dilontarkan dari menara-menara masjid dan atap surau, termasuk di tengah malam saat orang tidur lelap. Seruan yang disetel dengan suara keras itu dapat mengganggu orang jompo yang memerlukan kepulasan tidur, wanita haid yang tidak terkena wajib sembahyang, juga anak-anak yang belum akil baligh.

Peraturan Pemerintah.

Pembatasan dan pengaturan penggunaan mikropon masjid juga telah ada aturannya berupa Instruksi Dirjen Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam Nomor : Kep/D/101/1978 tentang “Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Mushalla”. Instruksi yang ditandatangani Dirjen Bimas Islam Drs. H. Kafrawi MA tanggal 17 Juli 1978 itu, mengacu kepada Keputusan-keputusan Lokakarya Pembinaan Peri Kehidupan Beragama Islam (P2A) tentang Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Mushalla yang diadakan di Jakarta tanggal 28 – 29 Mai 1978.

Dari buku “Pola Pembinaan Kegiatan Kemasjidan dan Profil Masjid, Mushalla dan Langgar” dan Instruksi Dirjen Bimas Islam Nomor 101/1978 beserta lampirannya, jelas adanya keharusan mengatur penggunaan mikropon masjid dan mushalla. Sekjen DMI H. Natsir Zubaidi menjabarkan salah satu bentuk pengaturan mikropon masjid tersebut dengan membagi dua suara, yakni keluar dan kedalam masjid. Berdasarkan pembagian tersebut, diatur kapan dan untuk apa suara mikropon masjid ditujukan keluar masjid dan kedalam masjid.

Instruksi Dirjen Bimas Islam No. Kep/D/101/78 tanggal 17 Juli 1978, tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Mushala. Intinya sebagai berikut:

• Pengeras suara/speaker dalam keadaan baik sehingga suara yang terdengar tidak mengganggu.

• Speaker dalam dan luar harus dipisahkan.

• Pada dasarnya suara yang memakai speaker luar hanyalah azan sebagai tanda telah tiba waktu salat. Salat dan doa untuk kepentingan jemaah, suaranya tidak perlu dikeluarkan melalui speaker luar.

• Aktivitas Jumat seperti pengumuman, doa, dan khotbah dapat menggunakan speaker dalam.

• Pada bulan Ramadan penggunaan speaker untuk tujuan tadarus bisa menggunakan speaker dalam.

• Takbir Idulfitri dan Iduladha dapat dilakukan dengan speaker luar dan dalam.

• Tablig akbar bisa menggunakan speaker luar dan dalam.

• Speaker masjid bisa dipakai sebagai pusat informasi jemaah untuk pengumuman kematian, musibah dan bencana, serta semua aktivitas demi kemaslahatan jemaah.

Realitas Di Masjidil Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah

Di Masjidil Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah tidak pernah kedengaran suara keluar dari mikropon masjid kecuali untuk seruan azan. Demikian pula halnya di sejumlah masjid lainya di Timur Tengah, suara yang keluar dari mikropon masjid hanya azan dan seruan penting lainnya dalam waktu yang terbatas.

Anjuran

Dalam Al Qur’an telah ada petunjuk berupa perintah berdoa dengan suara yang lembut dan larangan bersuara keras dalam berdo’a Jangankan berzikir dan berdo’a, dalam melakukan takbir pun Nabi Muhammad SAW melarang kita bersuara keras.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang sebagian jama’ah shalat untuk saling mengeraskan suara dalam membaca al-Qur’an atas sebagian yang lain.

Ketika ada orang yang berdoa dengan suara keras, maka rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menegur sahabat yang berbuat demikian.

Pembatasan penggunaan suara keluar melalui mikropon masjid perlu menjadi perhatian kita semua, khususnya pengurus masjid. Kita harus ingat bahwa udara itu merupakan hak publik, bukan hanya hak kaum muslimin, tapi juga hak non muslim dan hak seluruh makhluk Allah SWT. Karena itu mikropon masjid tidak boleh dipergunakan semena-mena.

"Dan berzikirlah kepada Tuhannmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termask orang-orang yang lalai". (QS 7:205)

Wahai sekalian manusia ! Rendahkanlah suara kalian, sesungguhnya kalian tidak menyeru Tuhan yang tuli lagi jauh, tetapi kalian menyeru Tuhan Yang Maha Mendengar lagi sangat dekat". (HR. Bukhari, dalam shahihnya, 6384).

Baca selengkapnya......

Selasa, 06 Desember 2011

Siapakah sebenarnya yang mudah menvonis dan suka menggeneralisir serta mengenyampingkan Tabayyun (mencari kejelasan) dan sikap bijak ?

[ Maaf ... Tulisan ini bukan sebagai alat provokasi atau sejenisnya namun hanya sebagai pembelaan dari segolongan kaum yang merasa telah dizhalimi secara sewenang-wenang dan membabi buta

{““Dan janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap suatu kaum, mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” [ Al-Maidah: 8 ])



Sesungguhnya seorang hamba berbicara dengan suatu kalimat yang ia tidak mencari kepastian apa yang ada di dalamnya, maka disebabkan hal itu ia dilemparkan ke dalam neraka sejauh antara timur dan barat.”} (Diriwayatkan oleh Bukhary-Muslim dari Abu Hurairah)

Setiap kali bicara soal Salafi-Wahabi, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH. Said Agil Siraj tidak bosan-bosannya melontarkan stigma tajam terhadap sosok muslim yang berjenggot panjang, berjidat hitam, bergamis, dan bercelana cingkrang (isbal)

Padahal ... :

Allah SWT berfirman:
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya. Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud . Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil. (QS. Muhammad: 29)

Rasulullah shallahhu alaihi wa sallam bersabda:
“Berbedalah kalian dengan orang-orang musyrik, pendekkanlah kumis, dan panjangkanlah jenggot.” Shahih Al-Bukhari, kitab Al-Libas (5892, 5893).

Rasulullah shallahhu alaihi wa sallam bersabda:
“Waspadalah kalian dari isbal pakaian, karena hal itu termasuk kesombongan, dan Allah tidak menyukai kesombongan” [Hadits Riwayat Abu Dawud 4084, Ahmad 4/65]


Bahkan ...

Saat voa-islam mengkonfirmasi lebih lanjut, bukankah kelompok salafi wahabi seperti Ustadz Ja’far Umar Thalib anti Sayyid Qutb, dan dalam media propagandanya justru anti kekerasan dan anti terhadap Salafi Jihadi? Bahkan, dalam situs Salafi, ada yang mengucapkan Jazakallah kepada Densus 88 yang telah menangkap pelaku pengeboman di Tanah Air. Lalu apa jawab Kiai Said Agil Siraj? “SEMUA Salafi Wahabi itu ekstrem, TIDAK ADA yang moderat. Mereka kerap menebar benih kekerasan dan radikalisme,” ujarnya. 


YA ...beliaulah yang telah berkata kepada publik :

“Situs porno secara hukum fikih tak berdosa, hanya makruh. Yang dosa itu yang membuat dan menjadi bintang porno,” kata Prof Dr KH Said Agil Siraj

Perkataannya itu dalam konteks beliau ( KH Said Agil Siraj / siradj ) membandingkan situs radikal dengan situs porno. Menurutnya, situs radikal lebih berbahaya daripada situs porno. Karena situs radikal merusak iman, sedangkan situs porno tak berdosa, hanya makruh. , Alih-alih mengambinghitamkan situs-situs jihadi radikal sebagai akar terorisme.[JAKARTA, Lintas-Kabar.com –]

itulah kurang lebihnya pendapat seorang Said agil siraj / siradj terhadap SALAFI / SALAFY yang mana seringkali beliau lebih suka mengembel-embelinya dengan kata " WAHABI "  - agar manusia menjauh dari dakwah salafi - )

Lalu marilah kita simak dengan hati yang adem tentang APA YANG DIKATAKAN OLEH MUI ( majelis ulama indonesia ) TENTANG SALAF / SALAFI / SALAFY  ?

SILAHKAN ANDA NILAI SENDIRI ... SIAPAKAH YANG LEBIH MEMILIKI SIKAP BIJAK ?


"Klik tombol "VIEW IN FULLSCREEN" (dibagian bawah artikel pojok kiri) untuk memperbesar tampilan artikel "
Fatwa MUI Jak-Ut Ttg Salafi

Baca selengkapnya......

Senin, 05 Desember 2011

Kekeliruan ikhwan akhwat di masa awal mengaji salaf (2)

6. Menganggap orang diluar dakwah ahlus sunnah sebagai saingan bahkan musuh

Ikhwan-akhwat baru “ngaji” yang sedang semangat-semangatnya berdakwah ada sebagian yang melihat orang diluar dakwah ahlus sunnah adalah saingan mereka. Padahal mereka adalah sasaran dakwah juga bukan saingan dakwah. Mereka adalah saudara seiman kita. Mereka berhak medapatkan hak-hak persaudaraan dalam islam. Seharusnya kita lebih mengasihi dan menyayangi mereka karena mereka punya semangat membela dan menyebarkan islam hanya saja mereka sudah terlanjur salah dalam memahami Islam. Mereka tidak seberuntung kita medapatkan anugrah dakwah ahlus sunnah. Contohnya:

-dikampus, ketika bertemu dengan teman-teman yang berdakwah tidak dengan dakwah ahlus sunnah, maka mukanya sangar, cemberut, tidak mau menyapa dan tidak membalas salam. Tidak mau duduk bermejelis dengan mereka dan merasakan suasana kekeluargaan islami. Dan parahnya, malah dengan orang kafir mereka lebih akrab dan hangat. Ketahuilah mereka saudara-sudara seiman kita yang lebih patut mendapat perhatian dan dakwah dari kita. Tidak heran jika saudara-saudara kita mengatakan: “kok kita sesama orang islam saling gontok-gontokan, tapi berbaikan dengan orang kafir”
Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan bertakwalah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” [Al-Hujurat:10]

-dikampung, ada ustadz /kiayi haji/ tuan guru/ tokoh masyarahat yang berdakwah tidak dengan dakwah ahlus sunnah. Maka ada sebagian ikhwan-akhwat yang seolah-olah meremehkan mereka, menganggap mereka aliran sesat, ilmunya salah dan ngawur, Tidak menghormati mereka. Padahal belum tentu kita lebih baik dari mereka. Bisa jadi mereka amalnya sedikit yang benar tapi sangat ikhlas, mengalahkan amal kita yang –sekiranya benar insyaAllah- tapi tidak ikhlas dan dipenuhi dengan riya’ dan dengan rasa sombong mampu beramal. Seharusnya kita memposisikan mereka sesuai dengan posisi mereka, menghormati mereka dan memilih kata-kata dakwah yang baik dan tidak terkesan menggurui. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda memerintahkan agar kita memposisikan manusia sesuai dengan kedudukuannya masing-masing. Salah satu penerapan beliau adalah surat beliau kepada raja Romawi Heraklius:

باسم الله الرحمان الرحيم من محمد رسوا الله إلى عظيم الروم

“Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, dari Muhammad utusan Allah kepada pembesar/ tokoh besar Romawi”

Kemudian jika mereka tidak menerima dakwah kita maka ada sebagian ikhwan-akhwat yang langsung mengangapnya sebagai musuh. Mereka akan merusak agama islam, mencap sebagai ahli bid’ah dan syirik dan tahu kaidah pembid’ahan dan pengkafiran. Padahal mereka tetap saudara kita dan masih berhak mendapatkan hak-hak persaudaraan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لا تحاسدوا ولا تَناجَشُوا ولا تباغضوا ولا تدابروا ولا يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ,وكونوا عباد الله إخواناً. اَلْمُسْلِمُ أَخُو المسلمِ: لا يَظْلِمُهُ ولا يَخْذُلُهُ ولا يَكْذِبُهُ ولا يَحْقِرُهُ

“Jangan kalian saling hasad, jangan saling melakukan najasy, jangan kalian saling membenci, jangan kalian saling membelakangi, jangan sebagian kalian membeli barang yang telah dibeli orang lain, dan jadilah kalian sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara muslim bagi lainnya, karenanya jangan dia menzhaliminya, jangan menghinanya, jangan berdusta kepadanya, dan jangan merendahkannya.[HR. Muslim no. 2564]

Jika mereka tidak menerima, maka tugas kita hanya menyampaikan saja. Mereka terima Alhamdulillah , jika tidak diterima jangan dipaksa dan dimusuhi. Karena kita hanya memberikan hidayah ‘ilmu wal bayan berupa penjelasan, sedangkan hidayah taufiq hanya ditangan Allah. Seharusnya kita mendoakan mereka semoga mandapatkan hidayah, bukan dimusuhi.

Lihatlah tauladan kita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala pergi ke Thaif untuk berdakwah sekaligus meminta perlindungan kepada mereka dari tekanan kafir Quraisy setelah meninggalnya paman beliau Abu Thalib. Akan tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diusir dengan lemparan batu, caci-maki dan ejekan. Tubuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia sampai berdarah-darah. Perasaan beliau makin sedih karena saat itu tahun-tahun ditinggal juga oleh istrinya Khadijah radhiallahu ‘anha, pendukung dakwah beliau. Kemudian datanglah malaikat Jibril ‘alaihissalam memberi tahu bahwa malaikat penjaga bukit siap diperintah jika beliau ingin menimpakan bukit tersebut kepada orang-orang Thaif. Malaikat tersebut berkata:

يَا مُحَمَّدُ، فَقَالَ، ذَلِكَ فِيمَا شِئْتَ، إِنْ شِئْتَ أَنْ أُطْبِقَ عَلَيْهِمُ الأَخْشَبَيْن

“Wahai muhammad, terserah kepada engkau, jika engkau mnghendaki aku menghimpitkan kedua bukit itu kepada mereka”

Tapi apa yang keluar dari lisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ? doa kepada penduduk Thoif. Beliau berdoa:

بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ مِنْ أَصْلاَبِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ وَحْدَهُ، لاَ يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا

“Bahkan aku berharap Allah akan mengeluarkan dari tulang sulbi mereka keturunan yang akan menyembah Allah semata, tidak disekutukanNya dengan apa pun” [kisah yang panjang bisa dilihat di shahih Bukhari no. 3231]

Subhanallah, kita sangat jauh dari cara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah. Dan terbukti doa beliau mustajab. Penduduk thoif tidak lama menjadi salah satu pembela islam dan mengikuti peperangan jihad membela islam.

Mengenai berwajah sangar, seram dan cemberut terus seolah-olah prajurit perang yang marah. Mungkin ini salah persepsi sebagian ikhwan-akhwat karena mereka sering dan terlalu banyak melihat syirik, bid’ah dan maksiat dimana-mana. Seolah-olah menunjukan mereka ingin mengingkari semuanya. Tetapi Islam tidak mengajarkan demikian, seorang muslim berprinsip “Berwajah ceria bersama manusia dan berlinang air mata akan dosanya saat sendiri bermunajat kepada rabbnya”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا، وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ

“Janganlah engkau remehkan suatu kebajikan sedikitpun, walaupun engkau bertemu dengan saudaramu dengan wajah yang ceria/bermanis muka”. [HR. Muslim no. 2626]

7. Berlebihan membicarakan kelompok tertentu dan ustadz/tokoh agama tertentu

Ada sebagian ikhwan-akhwat yang terlalu tenggelam dan sibuk membicarakan masalah perpecahan dan firqoh. Memang kita harus mempelajarinya agar tahu mana yang selamat, akan tetapi kita jangan terlalu menyibukkan diri membicarakan kelompok-kelompok tersebut. Tema yang terlalu sering diangkat dalam kumpul-kumpul,majelis dan pengajian adalah sesatnya kelompok ini, jangan ikut kajian dengan kelompok itu, menerapkan hajr/memboikot disana-sini tanpa tahu kaidah meng-hajr. Akhirnya sibuk dan lalai mempelajari tauhid, aqidah, akhlak, fiqh keseharian dan bahasa arab.

Hendaknya kita lebih memprioritaskan pembicaraan tentang tauhid dan akidah. Itulah seruan pertama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ingin berdakwah. Beliau bersabda kepada Muadz radhiallahu 'anhu yang diutus ke Yaman:

إنك تأتي قوما من أهل الكتاب، فليكن أول ما تدعوهم إليه شهادة أن لا إله إلا الله " - وفي رواية: إلى أن يوحدوا الله

“Sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum Ahli kitab maka hendaklah dakwah yang pertama kali engkau sampaikan kepada mereka adalah syahadat Laa ila Illallah , dalam riwayat yang lain: supaya mereka mentauhidkan Allah”. [Muttafaqun ‘alaih, lihat kitab tauhid syaikh Muhhammad bin Abdul Wahhab]

Selain membicarakan kelompok, sebagian ikhwan-akhwat juga sibuk membicarakan kesalahan dan kejelekan ustadz/tokoh tertentu. Mencap sebagai ahli bid’ah tanpa tahu kaidah pembid’ahan atau mencap kafir tanpa tahu kaidah pengkafiran. Tidak mau ikut pengajian ustadz fulan, bahkan sampai tingkat ulama. Syaikh fulan terjatuh dalam aqidah murji’ah, syaikh fulan ikut merestui kelompok sesat, syaikh fulan sudah ditahzir/diperingati oleh syaikh fulan. Parahnya, info yang sampai ke dia hanya qiila wa qoola, berita-berita yang tidak jelas dan belum tahu apakah sudah tabayyun/klarifikasi atau belum. Akhirnya sibuk mencari-cari aib orang lain. Membicarakan kesalahan orang lain.

Seharusnya kita lebih banyak mencari kesalahan kita, merenungi dosa-dosa kita yang banyak. Seharunya kita ingat perkataan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:

يبصر أحدكم القذاة في أعين أخيه، وينسى الجذل- أو الجذع - في عين نفسه


“Salah seorang dari kalian dapat melihat kotoran kecil di mata saudaranya tetapi dia lupa akan kayu besar yang ada di matanya." [HR. Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 592. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shahih]

Ustadz/ tokoh tersebut jika memang ia salah. Belum tentu kita lebih baik dari mereka. Bisa jadi amal mereka sedikit yang benar tapi sangat ikhlas. Sedangkan kita, seandainya banyak amal kita yang sesuai sunnah tapi tidak ikhlas, dipenuhi riya’ dan rasa sombong mampu beramal banyak. Ajaran islam mengajarkan agar kita tawaddhu’, rendah hati dan mengaggap orang lain lebih baik dari kita.

‘Abdullah Al Muzani rahimahullah berkata,

إن عرض لك إبليس بأن لك فضلاً على أحد من أهل الإسلام فانظر، فإن كان أكبر منك فقل قد سبقني هذا بالإيمان والعمل الصالح فهو خير مني، وإن كان أصغر منك فقل قد سبقت هذا بالمعاصي والذنوب واستوجبت العقوبة فهو خير مني، فإنك لا ترى أحداً من أهل الإسلام إلا أكبر منك أو أصغر منك.

“Jika iblis memberikan was-was kepadamu bahwa engkau lebih mulia dari muslim lainnya, maka perhatikanlah. Jika ada orang lain yang lebih tua darimu, maka seharusnya engkau katakan, “Orang tersebut telah lebih dahulu beriman dan beramal sholih dariku, maka ia lebih baik dariku.” Jika ada orang lainnya yang lebih muda darimu, maka seharusnya engkau katakan, “Aku telah lebih dulu bermaksiat dan berlumuran dosa serta lebih pantas mendapatkan siksa dibanding dirinya, maka ia sebenarnya lebih baik dariku.” Demikianlah sikap yang seharusnya engkau perhatikan ketika engkau melihat yang lebih tua atau yang lebih muda darimu.”[ Hilyatul Awliya’ 2/226, Abu Nu’aim Al Ashbahani, Asy-Syamilah]

8. Tidak serius belajar bahasa arab

Mungkin ikhwan-akhwat yang baru “ngaji” sekalipun sudah tahu bahwa hukum mempelajari bahasa Arab, yaitu fardhu. Ada juga yang merinci fardhu ‘ain bagi mereka yang mampu belajar dan bagi orang-orang yang akan banyak berbicara agama seperti calon ustadz dan aktifis dakwah. Kemudian fardhu kifayah bagi mereka yang tidak mampu otaknya seperti orang yang sangat tua. Sebagaimana perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah:

“Disana ada bagian dari bahasa Arab yang wajib ‘ain dan ada yang wajib kifayah. Dan hal ini sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Abu Bakar bin Abi Syaibah, dari ‘Isa bin Yunus dari Tsaur, dari Umar bin Yazid, beliau berkata: Umar bin Khottob menulis kepada Abu Musa Al-Asy’ari (yang isinya), “Pelajarilah As-Sunnah, pelajarilah bahasa Arab dan I’roblah Al-Qur’an karena Al-Qur’an itu berbahasa Arab.” [Iqtidho’Shirotal Mustaqim hal 527 jilid I, tahqiq syaikh Nashir Abdul karim Al–‘Aql, Wizarot Asy Syu-un Al Islamiyah wal Awqof]

Bahasa Arab sangat penting, karena sarana memahami islam. Sehingga kita bisa mudah menghapal Al-quran dan hadist, mudah tersentuh dengan Al-Quran, memahami buku-buku ulama. Hanya orang yang menguasai bahasa arab yang bisa merasakan manisnya menuntut ilmu.

Tetapi ada sebagian ikhwan-akhwat yang lalai belajar bahasa Arab, tidak serius dan ada juga yang menyerah belajar bahasa arab. Hal ini membuat mereka kurang kokoh dalam beragama. Dan setelah diperhatikan, Ikhwan-akhwat yang kemudian kendor menunut ilmu dan hilang semangat belajar agama bahkan futur adalah mereka yang tidak serius belajar bahasa arab.

Prosesnya mungkin seperti ini: pertama mereka semangat ikut kajian disana-disini, kemudian mulai bosan dengan kajian yang temanya itu-itu saja. Dan berpikir materi seperti ini bisa dibaca dirumah dan diinternet. Akhirnya hilang dari pengajian dan kumpulan orang-orang shalih. Kemudian dengan membacapun agak bosan [inipun kalau ia rajin membaca], Karena buku-buku terjemahan dan artikel materinya sangat terbatas. Akhirnya ia malah disibukkan dengan hal-hal yang kurang bermanfaat seperti facebook dan internet terus, ngobrol-ngobrol tentang akhwat padahal belum mau nikah dan lain-lain. Bahkan terjerumus dalam hal-hal yang haram. Ibnu Qayyim Al Jauziyah berkata:

“Jika dirimu tidak disibukkan dengan hal-hal yang baik, pasti akan disibukkan dengan hal-hal yang batil” (Al Jawabul Kaafi Liman Sa’ala ‘An Ad Dawa Asy Syafi, hal. 109).

Berbeda dengan mereka yang mengusai bahasa arab. Mereka semakin tertantang untuk belajar banyak ilmu dan tingkatan ilmu yang lebih tinggi seperti ilmu mustholah hadist, kaidah fiqh, ushul fiqh, mendengarkan muhadharah/ceramah syaikh dan menelaah kitab-kitab ulama yang tebal dan berjilid-jilid. Sehingga mereka selalu disibukkan dengan ilmu, dakwah dan amal. Merasakan kebahagian dan manisnya ilmu syar’i.

9. Tidak segera mencari lingkungan dan teman yang baik

Lingkungan dan teman sangat penting, karena sangat berpengaruh dengan diri kita. Ikhwan-akhwat yang baru “ngaji” biasanya masih mudah goyang dan tidak stabil, karena diperlukan teman-teman yang shalih dan baik. Bisa dilakukan dengan tinggal di wisma atau kost-kostan khusus ikhwan dan khusus akhwat. Atau jika memungkinkan pindah kelingkungan sekitar pondok atau perumahan yang banyak ikhwannya. Atau jika tidak bisa, sering-sering silaturahmi ke ikhwan-akhwat yang shalih dan shalihah serta berkumpul bersama mereka. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar(jujur)." [ At Taubah: 119]

Jika tidak, maka sudah sering terdengar cerita banyak ikhwan-akhwat yang dulunya semangat “ngaji” sekarang sudah futur dan hilang dari peredaran dakwah.Bahkan lingkungan dan teman yang baik dibutuhkan bagi semua orang.

Mengenai teman yang baik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ ، وَكِيرِ الْحَدَّادِ ، لاَ يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيهِ ، أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ ، وَكِيرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً

“Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang sholih dan orang yang jelek adalah bagaikan berteman dengan pemilik minyak misk dan pandai besi. Jika engkau tidak dihadiahkan minyak misk olehnya, engkau bisa membeli darinya atau minimal dapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau dapat baunya yang tidak enak.” [HR. Bukhari no. 2101]

Perlu diperhatikan bahwa hati manusia lemah, apalagi jika sendiri. Perlu dukungan, saling menasehati antarsesama. Selevel Nabi Musa ‘alaihissalam saja memohon kepada Allah agar punya teman seperjuangan yang bisa membantunya dan membenarkan perkataannya, yaitu Nabi Harun alaihissalam . Beliau berkata dalam Al-Quran:

وَأَخِي هَارُونُ هُوَ أَفْصَحُ مِنِّي لِسَاناً فَأَرْسِلْهُ مَعِيَ رِدْءاً يُصَدِّقُنِي إِنِّي أَخَافُ أَن يُكَذِّبُونِ

“Dan saudaraku Harun dia lebih fasih lidahnya daripadaku , maka utuslah dia bersamaku sebagai pembantuku untuk membenarkan (perkataan)ku; sesungguhnya aku khawatir mereka akan mendustakanku".[Al-Qashash:34]

10. Hilang dari pengajian dan kumpulan orang-orang yang shalih serta tengelam dengan kesibukan dunia

Penyebab terbesar futur adalah point ini. Majelis ilmu adalah tempat mere-charge keimanan kita, setelah terkikis dengan banyaknya fitnah dunia yang kita hadapi.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ

“Tidaklah suatu kaum berkumpul di satu rumah Allah, mereka membacakan kitabullah dan mempelajarinya, kecuali turun kepada mereka ketenangan, dan rahmat menyelimuti mereka, para malaikat mengelilingi mereka dan Allah memuji mereka di hadapan makhluk yang ada didekatnya”. [HR. Muslim nomor 6793]

Dan orang-orang shalih adalah pendukung dan penguat iman kita dengan saling menasehati. Dimana dengan berteman dengan mereka, maka kita akan sering mengingat akherat dan menjadi tegar kembali dalam beragama. sebagaimana Ibnul Qoyyim rahimahullahu berkata,

وكنا إذا اشتد بنا الخوف وساءت منا الظنون وضاقت بنا الأرض أتيناه، فما هو إلا أن نراه ونسمع كلامه فيذهب ذلك كله وينقلب انشراحاً وقوة ويقيناً وطمأنينة

“Kami (murid-murid Ibnu Taimiyyah), jika kami ditimpa perasaan takut yang berlebihan, atau timbul dalam diri kami prasangka-prasangka buruk, atau (ketika kami merasakan) kesempitan hidup, kami mendatangi beliau, maka dengan hanya memandang beliau dan mendengarkan ucapan beliau, maka hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan berganti dengan perasaan lapang, tegar, yakin dan tenang.” [Al Waabilush Shayyib hal 48, cetakan ketiga, Darul Hadist, Asy-Syamilah]

Tidak sedikit kita mendengar berita:

-ikhwan yang dulunya semangat mengaji dan menjadi panitia-panitia kajian, kemudian bekerja di perusahaan kota A dengan gaji yang menggiurkan sekarang sudah potong jenggot, isbal, berpacaran dan seolah-olah menjauh dari ikhwan-ikhwan jika di sms atau ditelpon.

-akhwat yang dulunya semangat menuntut ilmu,memakai jilbab lebar, memakai cadar bahkan purdah, kemudian melanjutkan studi S2 atau S3 dikota B atau diluar negeri, kemudian terdengar kabar bahwa ia sudah memakai jilbab ala kadar yang kecil “atas mekkah bawah amerikah”.

Terkadang kita tidak percaya dengan berita-berita seperti ini. Bagaimana mungkin dulu ia adalah guru bahasa arab, imam masjid dan jadi rujukan pertanyaan, sekarang menjadi seperti itu. semua ini bisa jadi karena tenggelam dengan kesibukan dunia dan terkikis fitnah secara perlahan-lahan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memisalkannya seperti tikar, beliau bersabda:

تُعْرَضُ الْفِتَنُ عَلَى الْقُلُوبِ كَالْحَصِيرِ عُودًا عُودًا

“Fitnah-fitnah akan mendatangi hati bagaikan anyaman tikar yang tersusun seutas demi seutas”. [HR.Muslim no 144]

Demikian yang dapat kami jabarkan. Dan dampak dari beberapa kesalahan tersebut adalah:

Merasakan kesempitan hidup setelah mengenal dakwah ahlus sunnah
Dakwah tidak diterima oleh orang lain
Merusak nama dakwah salafiyah ahlus sunnah dan memberi kesan negatif
Memecah belah persatuan umat Islam
Kemudian marilah kita banyak-banyak berdoa agar diberi istiqomah beragama yang merupakan anugrah terbesar.

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ

“Yaa muqollibal qulub tsabbit qolbi ‘ala diinik” artinya: ‘Wahai Zat yang membolak-balikkan hati teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu’ [HR. Tirmidzi no 2066. Ia berkata: “Hadits Hasan”, dishahihkan oleh Adz-Dahabi] Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Disempurnakan di Lombok, pulau seribu masjid
6 Syawwal 1432 H, Bertepatan 5 September 2011
Penyusun: Raehanul Bahraen
Semoga Allah meluruskan niat kami dalam menulis

Baca selengkapnya......

Kekeliruan ikhwan akhwat di masa awal mengaji salaf (1)


Kami sempat melakukanya diawal-awal kami mengenal dakhwah ahlus sunnah wal jama’ah karena kebodohan kami akan ilmu. kemudian kami ingin membaginya supaya ikhwan-akhwat bisa mengambil pelajaran dan mengingatkan mereka yang telah lama mengenal anugrah dakwah ahlus sunnah khususnya kami pribadi. Beberapa hal tersebut ada sepuluh berdasar pengalaman kami:

  1. Merasa lebih tinggi derajat dan akan terbebas dari dosa karena sudah merasa mengenal Islam yang benar
  2. Terlalu semangat menuntut ilmu agama sampai lupa kewajiban yang lain 
  3. Kaku dalam menerapkan ilmu agama padahal Islam adalah agama yang mudah 
  4. Keras dan kaku dalam berdakwah 
  5. Suka berdebat dan mau menang sendiri bahkan menggunakan kata-kata yang kasar 
  6. Menganggap orang diluar dakwah ahlus sunnah sebagai saingan bahkan musuh 
  7. Berlebihan membicarakan kelompok tertentu dan ustadz/tokoh agama tertentu 
  8. Tidak serius belajar bahasa arab 
  9. Tidak segera mencari lingkungan dan teman yang baik
  10. Hilang dari pengajian dan kumpulan orang-orang yang shalih serta tengelam dengan kesibukan dunia

Kemudian kami coba jabarkan satu-persatu.

1. Merasa lebih tinggi derajat dan akan terbebas dari dosa karena sudah merasa mengenal Islam yang benar

Ketika awal-awal mengenal dakwah ahlus sunnah bisa jadi ada rasa bangga dan sombong bahwa ia telah mendapat hidayah dan merasa ia sudah selamat dunia-akherat. Padahal ini adalah Ini baru fase yaq’zah [keterbangunan], awal mengangkat jangkar kapal, baru akan mulai mengarungi ilmu, amal, dakwah dan bersabar diatasnya.

Maka janganlah kita menganggap diri kita akan selamat dari dosa dan maksiat hanya karena baru mengenal dakwah ahlus sunnah, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:



فَلَا تُزَكُّوا أَنفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى


“Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui siapa orang yang bertakwa.” [An-Najm: 32]

Muhammad bin Ya’qub Al-Fairuz Abadi rahimahullah menukil penafsiran Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma tentang ayat ini:

فَلَا تبرئوا أَنفسكُم من الذُّنُوب {هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقى} من الْمعْصِيَة وَأصْلح


“Jangan kalian membebaskan diri kalian dari dosa dan Dialah yang paling mengetahui siapa yang bertakwa/takut dari maksiat dan membuat perbaikan” [Tanwirul Miqbaas min tafsiri Ibni Abbaas 1/447, Dar Kutubil ‘Ilmiyah, Libanon, Asy-Syamilah]

Seharusnya jika kita menisbatkan pada dakwah salafiyah maka ingatlah pesan salaf [pendahulu] kita yaitu sahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu :

لو تعلمون ذنوبي ما وطئ عقبي اثنان، ولحثيتم التراب على رأسي، ولوددت أن الله غفر لي ذنبا من ذنوبي، وأني دعيت عبد الله بن روثة. أخرجه الحاكم وغيره.


“Kalau kalian mengetahui dosa-dosaku maka tidak akan ada dua orang yang berjalan di belakangku dan sungguh kalian akan melemparkan tanah di atas kepalaku, dan aku berangan-angan Allah mengampuni satu dosa dari dosa-dosaku dan aku dipanggil Abdullah bin Kotoran.” [HR.Hakim Al-Mustadrok 3/357 no 5382, shahih]

2. Terlalu semangat menuntut ilmu agama sampai lupa kewajiban yang lain

Semua ikhwan-akhwat baru “ngaji” pasti semangat menuntut ilmu, karena banyak ilmu agama yang selama ini mereka yakini kurang tepat dan mereka dapatkan jawabannya dalam manhaj dakwah salafiyah yang ilmiyah. Akan tetapi ada yang terlalu semangat menuntut ilmu sampai lupa kewajibannya. Contoh kasus:

-ikhwan kuliah dikampus, ia diberi amanah oleh orang tuanya untuk belajar dikota A. Menyelesaikan studinya, pulang membawa gelar dan membahagiakan keduanya. Kedua orang tua bersusah payah membiayainya. Akan tetapi ia sibuk belajar agama disana-disini dan lalai dari amanah orang tua yang WAJIB juga ditunaikan. Nilainya hancur dan terancam Drop Out. Tentu saja orang tuanya bertanya-tanya dan malah menyalahkan dakwah salafiyah yang ia anut. Iapun tidak menjelaskan dengan baik-baik kepada kedua orang tuanya.

-seorang suami yang sibuk menuntut ilmu agama dan menelantarkan istri dan anaknya. Melakukan safar tholabul ilmi ke berbagai daerah, langsung membeli kitab-kitab yang banyak dan mahal. Padahal ia agak kesusahan dalam ekonomi dan tidak memberikan pengertian kepada istri dan anak-anaknya.

Kita seharusnya memperhatikan firman Allah Ta'ala:

وَلاَ تُسْرِفُواْ إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ


“Dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” [Al-An’am: 141]

Dan jika kita perhatikan, orang-orang seperti ini hanya [maaf] “panas-panas tahi ayam”. Semangat hanya beberapa bulan saja setelah itu kendor bahkan futur [malas dan jenuh].

3. Kaku dalam menerapkan ilmu agama padahal Islam adalah agama yang mudah

Allah Ta’ala mengkhendaki kemudahan bagi hamba-Nya, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” [Al-Baqarah:185]

Sebagian ikhwan-akhwat yang baru “ngaji” mungkin dikarenakan masih sedikitnya ilmu terlalu kaku menerapkan ilmu agama sehingga sehingga nampaknya islam adalah agama yang sulit dan tidak fleksibel. Contoh kasus:

-seorang akhwat ingin memakai cadar agar bisa menerapkan dan melestarikan sunnah agama islam. Akan tetapi semua keluarganya melarangnya bahkan keras karena nanti di sangka teroris dan lingkungan akhwat tersebut sangat aneh dengan cadar. Ia sudah menjelaskan dengan baik-baik tetapi keluarganya yang sangat awam masih belum bisa menerima. Orang tuanya bahkan tidak ridha dan hubungan silaturahmi dengan keluarga menjadi terputus. Dalam kasus ini:

Apabila ia menyakini bahwa cadar hukumnya sunnah maka diterapkan kaidah:

درع المفاسد مقدم على جلب المصالح


“Menolak mafsadat didahulukan daripada mendatangkan mashlahat”

Jika ia memakai cadar maka mendatangkan mashlahat yaitu melaksanakan sunnah, jika ia tidak pakai cadar maka menolak mafsadat yaitu tidak ridhonya ortu dan putus silaturhami. Maka dengan kaidah ini ia wajib menolak mafsadat dengan tidak memakai cadar. Selain itu hokum wajib didahulukan dari hokum sunnah.

Jika ia berkeyakinan bahwa cadar hukumnya wajib, konsekuensinya ia tidak memakai cadar maka akan berdosa. Maka diterapkan kaidah:

إذا تعارض ضرران دفع أخفهما.


” Jika ada dua mudharat (bahaya) saling berhadapan maka di ambil yang paling ringan “

Dalam hal ini tentu saja yang paling ringan adalah tidak memakai cadar karena tidak ridhanya orang tua lebih berat konsekuensinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

رِضَى الرَّبِّ فِي رِضَى الوَالِدِ، وَسَخَطُ الرَّبِّ فِي سَخَطِ الْوَالِدِ


“Ridha Allah ada pada ridha orang tua. Dan murka-Nya ada pada murka orang tua.” [HR. Tirmidzi no. 1899, dinilai shahih oleh Al Albani dalam Shahihul Jaami’ no. 3500]

-begitu juga dengan kasus seorang akhwat kuliah diluar kota, ia harus safar tanpa mahram dan tidak tahan kuliah ikhtilat, maka ia memutuskan tidak melanjutkan kuliah. Sehingga diminta pulang oleh orang tuanya. Akan tetapi ditempatnya tidak ada kajian dan mejelis ilmu sehingga ia menjadi futur karena ia baru-baru “ngaji”. Sedangkan di kota tempat ia kuliah ada banyak majelis ilmu. Maka keputusan ia berhenti kuliah kurang tepat.

Dan banyak kasus yang lain. Intinya kita harus banyak-banyak berdiskusi dengan ustadz dan orang yang berilmu jika mendapatkan seuatu dalam agama yang berat dan sesak terasa jika kita jalankan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّهِ


“Dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu . Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah.” [Ali Imron:159]

4. Keras dan kaku dalam berdakwah

Mungkin ini disebabkan karena terlalu semangat ingin meyebarkan dakwah manhaj salafiyah. Akan tetapi karena sedikitnya ilmu tentang tata-cara berdakwah, dakwah terkesan kaku dan keras. Contoh kasus:

-seorang pemuda yang baru mengenal dakwah, ketika pulang langsung menceramahi orang tuanya dan kakeknya. Dan berkata “ini haram”, itu bid’ah, ini syirik”. Tentunya saja kakeknya akan berkata, “kamu anak ingusan kemaren sore, baru saya anti popokmu, sudah berani ceramahi saya”?

-seorang ikhwan yang baru tahu hukum tahlilan setelah kematian adalah bid’ah. kemudian ia datang kekumpulan orang yang melakukanya dalam suasana duka. Ia sampaikan ke majelis tersebut bahwa ini bid’ah.maka bisa jadi ia pulang tinggal nama saja.

-seorang akhwat yang ingin mendakwahkan temannya yang masih sangat awam atau baru masuk islam. Ia langsung mengambil tema tentang cadar, jenggot, isbal, bid’ah, hadist tentang perpecahan dan firqoh. Ia juga langsung membicarakan bahwa aliran ini sesat, tokoh ini sesat dan sebagainya. Seharusnya ia mengambil tema tauhid dan keindahan serta kemudahan dalam islam.

Seharusnya berdakwah dengan cara yang lembut serta penuh hikmah. Dan berdakwah ada tingkatan, cara dan metodenya. Berpegang pada prinsip yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan:

يَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا وَبَشِّرُوا وَلَا تُنَفِّرُوا


“Mudahkan dan jangan mempersulit, berikan kabar gembira dan jangan membuat manusia lari” [HR. Bukhari, Kitabul ‘Ilmu no.69]

5. Suka berdebat dan mau menang sendiri bahkan menggunakan kata-kata yang kasar

Karena terlalu semangat berdakwah akan tetapi tanpa disertai ilmu. Maka ada sebagian ikhwan-akhwat baru “ngaji” sering terjatuh dalam kebiasaan suka berdebat. Dan parahnya, ia baru hanya tahu hukumnya saja, tidak mengetahui dan menghapal dalil serta tidak tahu metode istidlal [mengambil dalil]. Jadi yang ada hanya berdebat saling “ngotot” tentang hukum sesuatu. apalagi mengeluarkan katakata yang kasar sampai mencaci-maki dan menyumpah-serapah.

Memang ada yang sudah hapal dalilnya dan mengetahui metode istidlal , akan tetapi ia tidak membaca situasi dakwah, siapa objek dakwah, waktu berdakwah ataupun posisi dia saat mendakwahkan.

Dan ada juga yang berdebat karena ingin menunjukkan bahwa ia ilmunya tinggi, banyak menghapal ayat dan hadist, mengetahui ushul fiqh dan kaidah-kaidahnya.

Memang saat itu kita menang dalam berdebat karena manhaj salafiyah ilmiyah. Akan tetapi tujuan berdakwah dan nasehat tidak sampai. Orang tersebut sudah dongkol atau sakit hati karena kita berdebat dengan cara yang kurang baik bahkan menggunakan kata-kata yang kasar. Hatinya tidak terima karena merasa sudah dipermalukan, akibatnya ia gengsi menerima dakwah. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ،


“Agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat”. [HR. Muslim 55/95]

Yang dimaksud dengan nasehat adalah mengkhendaki kebaikan. Jadi bukan tujuannya menunjukan kehebatan berdalil dan menang dalam berdebat.

Mengenai suka berdebat para nabi dan salafus shalih sudah memperingatkan kita tentang bahayanya. Nabi Sulaiman ‘alaihis salam berkata kepada anaknya:

يَا بُنَيَّ، إِيَّاكَ وَالْمِرَاءَ، فَإِنَّ نَفْعَهُ قَلِيلٌ، وَهُوَ يُهِيجُ الْعَدَاوَةَ بَيْنَ الْإِخْوَانِ "


“Wahai anakku, tinggalkanlah mira’ (jidal, mendebat karena ragu-ragu dan menentang) itu, karena manfaatnya sedikit. Dan ia membangkitkan permusuhan di antara orang-orang yang bersaudara.” [Syu’abul Iman: 8076 Al-Baihaqi, cetakan pertama, Darul Rusdi Riyadh, Asy-syamilah]

Mengenai berkata-kata kasar, maka ini tidak layak keluar dari lisan seseorang yang mengaku menisbatkan diri pada manhaj salaf. Renungkan firman Allah Ta’ala:

اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى ْ فَقُولَا لَهُ قَوْلاً لَّيِّناً لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى


“Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut". [At-Thoha:43-44]

Kepada orang selevel Firaun saja harus berdakwah dengan kata-kata yang lemah lembut, apalagi kita akan mendakwahkan saudara kita seiman?. Maka gunakanlah kata-kata yang lembut dan bijaksana lagi penuh hikmah.

Bersambung....

Baca selengkapnya......

Jumat, 25 November 2011

Siapakah Muhammad bin Abdul Wahhab sebenarnya ( Wahabi / salaf / salafi / salafy ? )

Kehidupan Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab

Beliau adalah Muhammad ibnu Abdil Wahhab ibnu Sulaiman ibnu ‘Ali ibnu Muhammad ibnu Ahmad ibnu Rasyid ibnu Barid ibnu Muhammad ibnu Barid ibnu Musyrif At-Tamimiy.

Beliau dilahirkan pada tahun 1115 H di Kota ‘Uyainah yang merupakan bagian wilayah Nejed.

Di waktu kecil, beliau menimba ilmu di negerinya, yaitu ‘Uyainah. Beliau hafal Al-Qur’an sebelum berumur 10 tahun. Beliau cerdas, pintar, mudah hafal, fasih lagi hebat. Sulaiman –saudaranya- meriwayatkan bahwa ayah mereka memiliki firasat yang baik padanya, sang ayah terkagum-kagum dengan pemahaman dan kecerdasannya, padahal ia masih kecil dan ia menceritakan hal itu dan berkata: Sesungguhnya ia mengambil dari Muhammad –anaknya- banyak faidah hukum.

Ayah beliau menulis kepada sebagian ikhwannya sepucuk surat yang di dalamnya ia memuji keadaan Muhammad anaknya, menyanjung dan memuji hafalan, pemahaman serta daya tangkapnya. Dalam surat itu ia menuturkan bahwa anaknya ini telah baligh sebelum mencapai usia 12 tahun, ia memandangnya layak untuk mengimami shalat jama’ah karena pengetahuannya tentang hukum-hukum yang berkaitan dengannya, maka ayahnya pun menjadikan beliau imam dalam shalat jama’ah bersama masyarakat. Ia menikahkannya pada umur 12 tahun –tidak lama setelah mencapai usia baligh-, kemudian mengizinkannya untuk menunaikan ibadah haji. Maka beliaupun berangkat haji dan menuju Madinah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Di sana beliau menetap selama dua bulan, kemudian pulang setelah menunaikan ziarah.

Saat itu ayahnya adalah qadli untuk wilayah ‘Uyainah, maka dalam bidang fiqh, beliau menimba ilmu dari ayahnya sesuai madzhab Imam Ahmad. Walaupun beliau rahimahullah masih kecil, akan tetapi beliau banyak mengkaji kitab-kitab tafsir dan hadits serta pembahasan para ulama prihal ashlul Islam. Karena kepiawaiannya dalam menulis, beliau dalam suatu majelis menulis banyak buku kecil tanpa merasa lelah, sehingga orang yang melihat tercengang karena kecepatan daya hafal dan penulisannya.

Allah melapangkan dadanya untuk mengenal Tauhid dan hal-hal yang membatalkannya yang menyesatkan (banyak manusia) dari jalan-Nya, maka beliau mulai mengingkari kesyirikan yang telah menyebar luas di Nejd, walaupun sesungguhnya sebagian manusia telah menganggap baik apa yang beliau katakan, namun karena beliau melihat bahwa masalahnya tidak akan tertangani oleh beliau sesuai dengan apa yang beliau inginkan, maka beliau pergi mencari ilmu ke berbagai wilayah sekitarnya sampai akhirnya mencapai tingkatan yang melebihi guru-gurunya.

Maka beliau memulai dengan menunaikan ibadah haji ke Baitullah al Haram, lalu beliau menetap di Al Madinah Al Munawarrah untuk menimba ilmu di sana dari Syaikh Abdullah ibnu Ibrahim An Najdiy Al Madaniy dan beliau (Syaikh Abdullah) memberinya ijazah dari dua jalan. Beliau adalah ayah Ibrahim ibnu Abdillah, penyusun kitab Al ‘Adzbul Faa-idl fii ‘Ilmil Faraa-idl. Beliau juga menimba ilmu dari Syaikh Muhammad Hayaat As Sindiy Al Madaniy.[1]

Kemudian beliau keluar dari Al-Madinah menuju Nejed dan bertolak menuju Bashrah dalam perjalannannya menuju Syam. Di Basharah, beliau mendengar hadits dan fiqh dari banyak ulama dan di sana pula beliau mengkaji ilmu Nahwu sampai menguasainya. Beliau juga menulis banyak ilmu bahasa (Arab) dan hadits.

Di sela-sela waktunya, selama beliau berada di Bashrah, beliau mengingkari apa yang beliau lihat dan beliau dengar, berupa syirik dan bid’ah. Beliau menganjurkan manusia agar memegang jalan yang lurus dan benar. Beliau menyebarkan Tauhid dan beliau menyatakan dengan terang-terangan kepada manusia bahwa ibadah itu seluruhnya hanya bagi Allah, barang siapa memalingkan sesuatu darinya kepada selain Allah, maka dia kafir.

Bila seseorang di majelisnya menyebutkan lambang-lambang para thaghut dan orang-orang shalih yang mereka ibadati bersama Allah, maka beliau melarangnya, menghentikannya dari hal itu dan menjelaskan kebenaran kepadanya, seraya berkata kepadanya: “Sesungguhnya mencintai para wali dan orang-orang shalih itu hanyalah dengan mengikuti tuntunan dan ajaran yang mereka pegang dan bukan dengan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah”.

Banyak dari penduduk Bashrah datang kepadanya seraya membawa syubuhat, maka beliau memberikan jawaban kepada mereka dengan jawaban yang melenyapkan kesamaran dan menampakkan al-haq. Beliau selalu mengulang-ulang kepada mereka bahwa ibadah itu seluruhnya tidak layak, kecuali hanya bagi Allah. Sebagian mereka menganggap aneh hal itu dan terheran-heran karena sikap pengingkaran beliau yang sangat terhadap peribadatan kepada orang-orang shalih dan para wali, tawassul dengan mereka di kuburan-kuburan mereka dan tempat-tempat mereka yang dikeramatkan. Mereka mengatakan : “Bila yang dikatakan oleh orang ini benar, maka selama ini manusia sesat”.

Tatkala hal itu (terjadi, ed) berulang-ulang, maka sebagian penduduk Bashrah mengintimidasinya dan mengusirnya dari Bashrah di siang hari yang panas. Beliaupun menuju Syam, akan tetapi bekal yang beliau bawa hilang dalam perjalanan, sehingga akhirnya beliau berbalik arah, kembali ke Nejed. Dalam perjalanannya, beliau melewati Ahsa dan singgah di sana, yaitu di rumah Asy Syaikh Al-‘Alim Abdullah ibnu Muhammad ibnu Abdillathif Asy Syafi’i Al Ahsaa-i. Kemudian dari sana beliau menuju daerah Huraimila, yang mana ayahnya (Abdul Wahhab) telah pindah ke sana dari ‘Uyainah tahun 1139 H setelah amirnya Abdullah ibnu Ma’mar meninggal dunia dan cucunya Muhammaf ibnu Hamd yang digelari Khurfaasy memegang kepemimpinan sesudahnya, lalu dia mencopot Syaikh Abdul Wahhab dari jabatan qadli ‘Uyainah karena perselisihan di antara keduanya.

Syaikh Muhammad menetap di Huraimila bersama ayahnya sambil belajar kepadanya beberapa tahun sampai ayahnya meninggal dunia tahun 1153 H. Maka beliau menjaharkan dakwahnya dan mengingkari dengan sangat segala fenomena kesyirikan dan bid’ah. Beliau sungguh-sungguh dalam al amru bil ma’ruf dan an nahyu ‘anil munkar. Beliau mengerahkan segala nasehatnya bagi kalangan khusus dan kalangan awam, menebarkan ajaran-ajaran Islam, memperbaharui sunnah Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam dan beliau tidak takut -di dalam kebenaran ini- celaan orang yang suka mencela, (beliau juga) mengingatkan manusia dan para ulama secara khusus, demi menghindari ancaman Allah ta’ala dalam firman-Nya ta’ala:

“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati” (Al-Baqarah : 159)

Maka akhirnya nama beliau terkenal di wilayah-wilayah ‘Aridl, yaitu Huraimila, ‘Uyainah, Dir’iyyah, Riyadl dan Manfuhah, sehingga banyak orang berdatangan kepadanya. Mereka menjadi jama’ah dan mentauladaninya, mengikuti jalannya dan ber-mulazamah serta belajar kepadanya dalam bidang hadits, fiqh dan tafsir. Di tahun-tahun itu beliau menyusun “Kitab At-Tauhid”.

Dalam menyikapi beliau, manusia terbagi menjadi dua kelompok: Satu kelompok mengikuti dan membai’atnya serta setia terhadap apa yang beliau da’wahkan, sedangkan kelompok lain memusuhinya, memeranginya dan mengingkari apa yang beliau bawa, sedangkan mereka itu adalah mayoritas manusia.

Saat itu para pemimpin kawasan Huraimila adalah dua kabilah yang keduanya berasal dari satu kabilah dan masing-masing mengklaim bahwa dirinyalah yang memiliki kekuatan, dominasi dan pemerintahan yang tertinggi serta mereka tidak memiliki satu pimpinan yang mengendalikan semua.

Di negeri itu ada banyak budak milik salah satu kabilah tadi. Mereka sangat jail dan bejat. Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab menginginkan agar mereka dihalangi dari kerusakan dan diberlakukan kepada mereka al amru bil ma’ruf wa nahyu ‘anil munkar, akan tetapi mereka malah berupaya membinasakan Syaikh dan membunuhnya secara diam-diam di malam hari. Kemudian tatkala mereka memanjat dinding untuk menghabisi beliau, orang-orang memergokinya lalu meneriakinya sehingga merekapun kabur melarikan diri.

Syaikh akhirnya pindah dari Huraimila ke ‘Uyainah, sedang pemimpinnya saat itu adalah Utsman ibnu Hamd ibnu Ma’mar, maka iapun memuliakan Syaikh dan di sana beliau menikahi Jauharah puteri Abdullah ibnu Ma’mar.

Tatkala syaikh memaparkan dakwahnya kepada Utsman, maka iapun mengikutinya dan mendukungnya serta mengharuskan kalangan khusus dan umum untuk melaksanakan perintahnya. Di daerah ‘Uyainah dan sekitarnya ini terdapat banyak kubah, mesjid dan bangunan yang dibangun di atas kuburan sahabat dan para wali serta pohon-pohon yang mereka keramatkan dan mereka bertabarruk dengannya; seperti kubah kuburan Zaid Ibnul Khaththab di Jubailah, pohon Quraiwah, Abu Dujanah dan Dzaib.

Maka Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab dan Utsman ibnu Ma’mar beserta banyak jama’ahnya keluar menuju tempat-tempat itu dengan membawa cangkul, terus mereka menebang pohon-pohon, menghancurkan bangunan-bangunan dan kubah yang di atas kuburan itu serta mereka membenahinya sesuai tuntunan Sunnah. Sedangkan Syaikh sendiri beliaulah yang menghancurkan sendiri kubah kuburan Zaid Ibnul Khaththab dan begitu juga beliau bersama sahabat-sahabatnya menebang pohon Dzaib. Sedangkan pohon Quraiwah ditebang oleh Tsunayyan ibnu Su’ud, Musyariy ibnu Su’ud, Ahmad ibnu Suwailim serta yang lainnya.

Begitulah akhirnya tidak tersisa satupun berhala di negeri yang dikuasai oleh Utsman, sehingga kalimatul haq melambung tinggi dan sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pun dihidupkan. Kemudian tatkala hal itu terkenal dan tersiar luas serta menjadi pembicaraan para pelancong, maka hati manusia -yang sudah dipastikan adzab baginya- mengingkarinya dan mengatakan seperti apa yang sudah dikatakan oleh orang-orang terdahulu:

“Mengapa dia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan”(Shaad: 5)

Maka mereka bersekongkol untuk membantah, mengingkari, menyudutkan dan memeranginya. Mereka menulis surat kepada ulama Ahsaa, Bashrah dan Al-Haramain seraya memanas-manasi mereka terhadapnya. Dalam hal itu mereka juga dibantu oleh orang-orang bejat dan orang-orang sesat dari kalangan ulama negeri-negeri itu. Mereka menulis banyak buku dalam memvonis beliau sebagai seorang ahli bid’ah, sesat, merubah ajaran dan sunnah, bodoh dan binasa.

Mereka mengompori kalangan khusus dan kalangan awam terhadapnya, terutama para pemimpin dan penguasa. Mereka mengklaim bahwa Syaikh dan para pengikutnya itu tidak memiliki jaminan dan keterjagaan (darah dan harta), karena sebab menolak sunnah Rasulullah saw dan merubah ajaran agama. Mereka menakut-nakuti para pemimpin dan penguasa darinya. Mereka mengklaim bahwa beliau mendoktrin orang-orang bodoh dan para pengekor dengan pendapatnya, serta beliau memperdaya mereka dengan pahamnya sehingga mereka akhirnya berani membangkang dan menentang pemimpin dan pemerintah mereka.

Syaikh -rahimahullah- sabar menghadapi apa yang mereka katakan lagi mengharapkan pahalanya di sisi Allah, seraya menghibur diri dengan apa yang dialami oleh kaum muwahhidun sebelumnya dan dengan berbagai ujian yang dihadapi kaum mu’minin serta segala konspirasi kaum musyrikin dan orang-orang sesat terhadap mereka. Ini adalah sunnatullah ta’ala pada hamba-hamba-Nya yang selalu berlaku di semua zaman, yang dengannya Allah menguji orang-orang mu’minin dan menyeleksi orang-orang yang bersabar. Allah ta’ala berfirman:

“Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesunggguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta” (Al-Ankabut: 1-3)

Syaikh rahimahullah tetap bermukim di ‘Uyainah. Beliau menegakkan amar ma’ruf dan nahyi munkar. Beliau mengajari manusia tentang dien mereka, melenyapkan segala bid’ah yang beliau mampu. Beliau menegakkan hudud dan memerintahkan pemimpin untuk menegakkannya.

Sampai akhirnya, beliau didatangi oleh seorang wanita dari penduduk ‘Uyainah yang telah melakukan zina dan dia mengakui perbuatan zinanya tersebut terhadap dirinya sendiri. Pengakuan itu (diungkapkan,ed) berulang kali, hingga empat kali… Maka Syaikhpun berpaling darinya.

Kemudian wanita itu kembali mengakuinya berulang-ulang, maka Syaikhpun menanyakan tentang akalnya. Beliaupun diberi tahu akan kesempurnaan dan kesehatan akalnya. Kemudian beliau menangguhkannya beberapa hari, dengan harapan dia menarik kembali pengakuannya, akan tetapi dia tetap bersikukuh di atas pengakuannya.

Wanita itu mengakui sebanyak empat kali dalam empat hari berturut-turut. Maka Syaikh rahimahullahmemerintahkan pemimpin untuk merajamnya, karena dia muhshanah, dengan cara: Pakaiannya diikatkan pada badannya, lalu dirajam dengan batu sesuai cara yang disyari’atkan. Sang pemimpin, yaitu Utsman ibnu Ma’mar dan sejumlah kaum muslimin keluar untuk merajamnya sampai wanita itu meninggal dunia. Orang pertama yang merajamnya adalah Utsman sendiri. Tatkala wanita itu telah meninggal dunia, maka Syaikh memerintahkan agar mereka memandikan, mengkafani dan menshalatkannya.

Ketika kejadian ini sudah berlalu, maka bermunculanlah komentar-komentar ahli bid’ah dan orang-orang sesat. Mereka cemas dan takut, khawatir dan gundah. Maka lisan-lisan para ulama menjulur, mengingkari apa yang beliau lakukan, padahal beliau tidak melampaui hukum yang disyari’atkan dengan As-Sunnah dan ijma.

Tatkala mereka tidak mampu membantah hujjah-hujjah yang beliau utarakan, maka mereka beralih membantahnya dengan makar dan tipu daya. Mereka mengadukannya kepada sesepuh (tokoh) mereka, yaitu Sulaiman Alu Muhammad, pemimpin Banu Khalid dan Ahsa. Mereka mengomporinya dengan mengatakan kepadanya:“Sesungguhnya orang ini ingin menjatuhkan anda dari kekuasaan dan berupaya menghentikan urusan yang anda jalankan serta menghapuskan pajak dan upeti”

Ketika mereka menakut-nakutinya dengan hal itu, maka Sulaiman Alu Muhammad menulis surat kepada Utsman ibnu Ma’mar seraya memerintahkannya agar membunuh Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab atau mengusirnya dari negerinya. Dia memojokkan dan mengancam Utsman, bahwa bila tidak melaksanakan hal itu, maka dia akan memutuskan upeti yang ada padanya di Ahsa –sedang itu adalah upeti yang sangat banyak- serta dia mengancamnya akan merampas semua harta Utsman yang ada padanya.

Tatkala surat Sulaiman diterima Utsman, maka Utsman merasa terpukul sehingga dia lebih mengedepankan dunia atas dien ini dan memerintahkan Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab agar keluar dari ‘Uyainah.

Maka Syaikhpun keluar meninggalkan ‘Uyainah pada tahun 1158 H menuju daerah Dir’iyyah. Pada malam pertama beliau singgah di rumah Abdullah ibnu Suwailim, kemudian di hari ke dua beliau pindah ke rumah muridnya, Syaikh Ahmad ibnu Suwailim.

Saat hal itu didengar oleh amir Muhammad ibnu Su’ud, maka ia dan kedua saudaranya Tsunayyan dan Musyariy segera menghampirinya di rumah Ahmad ibnu Suwailim, Ia mendatanginya dan mengucapkan salam terhadap beliau. Ia sangat memuliakan dan mengagungkannya serta ia mengabarkan kepadanya bahwa ia akan melindunginya seperti ia melindungi isteri-isteri dan anak-anaknya.

Maka Syaikh mengabarkan kepadanya apa yang dibawa dan didakwahkan Rasulullah saw, juga apa yang dipegang oleh para sahabat beliau sesudahnya serta apa yang diperintahkan dan dilarang Rasulullah terhadap mereka. Syaikh juga mengabarkan bahwa setiap bid’ah adalah kesesatan serta bahwa kejayaan dan kekayaan yang Allah berikan kepada mereka dengan sebab jihad fi sabilillah dan juga Dia jadikan mereka sebagai saudara. Kemudian Syaikh memaparkan kepadanya tentang realita yang dilakukan penduduk Nejed di zamannya, yaitu berupa penyelisihan mereka terhadap ajaran Rasulullah saw dengan penyekutuan Allah ta’ala, berbagai bid’ah, perselisihan dan kezhaliman.

Tatkala amir Muhammad ibnu Su’ud benar-benar mengenal tauhid dan mengetahui mashlahat dieniyyah dan duniawiyyah yang ada di dalamnya, maka ia berkata kepada Syaikh: “Wahai Syaikh, sesungguhnya ini adalah dienullah wa rasulihi yang tidak ada keraguan di dalamnya, maka berbahagialah dengan dukungan bagimu dan bagi apa yang engkau perintahkan serta jihad melawan orang-orang yang menyelisihi tauhid.

Akan tetapi, saya ingin mensyaratkan dua hal kepada engkau, (yaitu): Bila kami telah berdiri membelamu dan berjihad di jalan Allah serta Allah telah memberikan kemenangan bagi kita, saya khawatir engkau pergi meninggalkan kami dan engkau menggantikan kami dengan orang lain dan ke dua: Selama ini saya memungut upeti dari dari penduduk Dir’iyyah di setiap musim panen dan saya khawatir engkau mengatakan “jangan mengambil sesuatupun dari mereka””.

Maka Syaikh rahimahullah berkata: “Adapun syarat yang pertama, maka ulurkan tanganmu ~Darah dengan darah, jaminan dengan jaminan~, dan adapun syarat yang ke dua, maka mudah-mudahan Allah membukakan banyak penaklukan bagimu sehingga Allah memberikan ganti kepadamu berupa ghanimah yang lebih baik dari apa yang diambil dari mereka”.

Maka amir Muhammad mengulurkan tangannya dan membai’at Syaikh di atas agama Allah dan Rasul-Nya, jihad di jalan-Nya, penegakan syari’at Islam, serta al amru bil ma’ruf wan nahyu ‘anil munkar. Kemudian syaikh bangkit dan masuk ke negeri itu bersamanya serta menetap di sana.

Di antara orang-orang yang terkenal mendukung dan membelanya dari kalangan saudara-saudara amir Muhammad, para pembantunya dan jajaran aparatnya dari penduduk Dir’iyyah adalah :Tsunayyan ibnu Su’ud, Musyari ibnu Su’ud, Farhan ibnu Su’ud, Syaikh Ahmad ibnu Suwailim, Syaikh Isa ibnu Qasim, Muhammad Al Hazimiy, Abdullah ibnu Dughaitsir, Sulaiman Al Wusyaiqiriy, Hamd ibnu Husain, dan saudaranya Muhammad serta yang lainnya.

Syaikh telah menetap dua tahun di Dir’iyyah. Beliau membimbing manusia dan mengarahkan mereka ke jalan yang benar. Di sela-sela itu, berdatanganlah kepadanya para pendukung beliau dari ‘Uyainah secara diam-diam, di antaranya: Abdullah ibnu Muhsin, dan kedua saudaranya, Zaid dan Sulthan dari Banu Ma’mar, Abdullah ibnu Ghunnam dan saudaranya, Musa.

Ikut hijrah pula bersama mereka sejumlah besar para sesepuh Banu Ma’mar yang menyelisihi Utsman ibnu Ma’mar di ‘Uyainnah. Begitu juga orang-orang yang berasal dari wilayah-wilayah sekitarnya ikut hijrah bersama mereka, saat mengetahui bahwa Syaikh telah menetap di Dir’iyyah serta mendapat dukungan dan perlindungan.

Tatkala Utsman ibnu Ma’mar mengetahui semua itu, maka ia menyesal terhadap apa yang telah ia lakukan berupa pengusiran Syaikh dan sikap tidak membelanya dan ia juga menjadi mengkhawatirkan banyak hal dari Syaikh. Akhirnya ia pun bersama sejumlah penduduk ‘Uyainah dan sesepuh-sesepuhnya berangkat mendatangi Syaikh di Dir’iyyah. Ia menginginkan Syaikh kembali bersamanya dan ia menjanjikan dukungan dan pembelaan baginya, maka Syaikh berkata: “Hal ini bukan kepada saya, akan tetapi kepada Muhammad ibnu Su’ud, bila ia ingin saya pergi bersamamu, maka saya pergi dan bila ia ingin saya menetap padanya, maka saya menetap dan saya tidak mungkin menggantikan seseorang yang telah menyambut saya penuh penerimaan dengan orang lain, kecuali ia mengizinkannya bagi saya”.

Kemudian Utsmanpun mendatangi Muhammad ibnu Su’ud, namun ia menolak permintaannya. Tatkala ia tidak mendapatkan apa yang diinginkannya, maka ia kembali pulang ke negerinya seraya menyembunyikan permusuhan, niat jahat dan khianat, walaupun ia menampakkan sikap dukungan kepada al-haq dan dukungan kepada syaikh dan amir Muhammad. Tipu dayanya pun terjadi berulang-ulang dan nampaklah kemunafikannya serta terbongkarlah niat busuknya, maka akhirnya sejumlah ahlut tauhid membunuhnya setelah selesai shalat Jum’at di tempat shalatnya di dalam mesjidnya di ‘Uyainah tahun 1163 H sebagaimana yang akan dijabarkan nanti.

Syaikh menulis surat memaparkan dakwahnya kepada berbagai penduduk negeri dan para sesepuh mereka serta para pengaku ilmu di tengah mereka, maka di antara mereka ada yang menerima al haq dan mengikutinya dan ada juga yang malah melecehkan dan memperolok-oloknya. Mereka menuduh beliau bodoh dan kadang menuduhnya tukang sihir serta menuduhnya dengan hal-hal yang padahal beliau berlepas diri dari semua itu.

Syaikh rahimahullah tetap teguh mengajak manusia kepada jalan Tuhannya dengan hujjah yang nyata dan dengan pelajaran yang baik. Beliau tidak serta merta mengkafirkan seorangpun dan tidak memulai menyerang seorangpun, namun beliau menahan diri dari itu semua sebagai sikap wara’ darinya dan pengharapan Allah memberi hidayah kepada orang-orang yang sesat.

Sampai akhirnya mereka semua malah bangkit memusuhi dan mengkafirkan beliau dan jama’ahnya secara terang-terangan di seluruh pelosok negeri serta menghalalkan darah mereka, sedangkan mereka tidak membuktikan klaim batil mereka tersebut dengan satu hujjahpun dari Kitabullah atau Sunnah Rasul-Nya. Mereka tidak peduli dengan kebohongan dan kepalsuan yang mereka tuduhkan kepada Syaikh dan tidak peduli pula dengan cara-cara yang mereka gunakan untuk mengusir beliau dan jama’ahnya dari negeri itu serta pengejaran mereka dengan disertai penyiksaan dan penindasan.

Ya, memang beliau rahimahullah tidak memerintahkan untuk menumpahkan darah dan memerangi mayoritas orang-orang sesat dan budak hawa nafsu sampai mereka sendiri yang lebih dulu memerangi dan mengkafirkan beliau dan para sahabatnya, maka saat itu Syaikh memerintahkan jama’ahnya untuk berjihad. Beliau mengobarkan semangat para pengikutnya untuk berjihad, maka merekapun melaksanakan perintah beliau.

Beliau selalu ber-munajat kepada Allah yang telah menganugerahkan karunia Tauhid ini agar melapangkan dada kaumnya untuk menerima al-haq dan menghindarkan kejahatan mereka dengan daya dan kekuatan-Nya serta memalingkan tindakan jahat mereka darinya.

Dalam menyikapi mereka beliau selalu mengambil sikap pemaaf dan lapang dada. Hal yang paling beliau sukai adalah bila seseorang di antara mereka meminta maaf kepada beliau, maka beliau lekas memaafkannya. Beliau tidak pernah membalas dendam kepada seorangpun setelah beliau menang dan menguasainya.

Seandainya (dulu, ed) Allah memberikan kesempatan kepada mereka untuk membinasakan beliau, tentulah mereka menghabisi dan mencincang beliau. Sungguh beliau mengetahui benar hal itu, namun beliau tidak pernah melampiaskan dendam setelah beliau menguasai dan meraih kemenangan, yaitu di saat mereka datang kepada beliau dengan berbondong-bondong seraya tunduk patuh, baik suka maupun terpaksa.

Beliau justeru menyikapinya dengan kasih sayang sehingga beliau berpaling dari apa yang pernah mereka lakukan terhadap beliau, seolah tidak pernah ada apa-apa dari mereka. Beliau menampakkan kepada mereka sikap ramah dan akrab serta sikap baik, pemberian dan pemuliaan. Akhlaq semacam ini tidak dapat digapai, kecuali oleh orang-orang yang baik dan mulia, ulama hebat yang Allah hiasi dengan taqwa, manfaat dan hidayah.

Syaikh terus dalam perjalanannya sedangkan kendali urusan, pengambilan dan pemberian, pengedepanan dan pengakhiran ada di tangannya. Tidak ada sesuatu pasukanpun yang diberangkatkan dan tidak muncul satu pendapatpun dari Muhammad ibnu Su’ud dan puteranya, yaitu ‘Abdul ‘Aziz, melainkan berasal dari ucapan dan pendapat beliau.

Kemudian takala Allah memberikan bagi mereka kemenangan atas Riyadh ~sebagaimana yang akan dijelaskan nanti~ dan wilayah Islam meluas serta perjalanan menjadi aman juga semua kawasan badui dan kota tunduk. Maka Syaikh menjadikan kendali urusan di tangan ‘Abdul ‘Aziz ibnu Muhammad ibnu Su’ud. Beliau menyerahkan urusan kaum muslimin dan Baitul Mal kepadanya, beliau melepaskan diri dari sibuk dengannya dan beliau menyibukkan diri dengan ibadah dan pengajaran ilmu. Akan tetapi ‘Abdul ‘Aziz tidak memutuskan suatu urusanpun tanpa menyertakan beliau dan tidak melaksanakannya kecuali dengan izinnya.

Beliau rahimahullah menghidupkan mayoritas malamnya dengan qiyamullail. Beliau shalat tahajjud dan membaca Al-Qur’an. Sikap beliau hati-hati dan penuh pengkajian dalam pelaksanaan berbagai putusan. Hawa nafsu tidak memalingkannya dari syari’at dan permusuhan tidak menghalanginya dari al haq. Beliau memutuskan dengan putusan yang nampak kebenaran ~di hadapan beliau~ di dalamnya. Bila beliau mendapatkan suatu nash dari Kitabullah atau Sunnah Nabi-Nya shallallaahu ‘alaihi wasallam, maka beliau memegangnya dan tidak berpaling darinya, bila tidak, maka beliau merujuk pada Kitab-Kitab Imam yang empat serta beliau mengkajinya dengan penuh kejelian, penelitian dan pembahasan.

Walaupun Allah memberikan limpahan karunia terhadap Baitul Mal dari harta-harta rampasan, akan tetapi beliau rahimahullah zuhuddan menjaga diri, tidak memakan harta itu, kecuali dengan ma’ruf. Beliau adalah orang yang dermawan, tidak pernah menolak orang yang meminta dan beliau tidak meninggalkan sedikitpun harta yang bisa dibagikan di antara ahli warisnya, bahkan justeru beliau memiliki banyak utang yang Allah telah membayarkannya…

Allah Ta’ala telah memilihnya untuk kembali kehadirat-Nya di hariSenin akhir Syawwal 1206 H dalam usia kurang lebih 92 tahun. Semoga Allah Ta’ala merahmatinya dengan rahmat yang luas dan memasukkan beliau ke dalam surga-Nya serta membalas kebaikan atas jasanya bagi Islam dan muslimin, sebagai balasan syari’at Allah yang beliau hidupkan dan Sunnah Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wasallam yang beliau kembalikan.

Karya tulis beliau di antaranya:

* Kitabut Tauhid Fiimaa Yajibu Min Haqqillah ‘Alal ‘Abiid
* KItabul Kabaa-ir
* Kitab Kasyfusy Syubuhat
* Kitab As Sirah Al Mukhtasharah
* Kitab As Sirah Al Muthawwalah
* Kitab Mukhtashar Al Hadyu An Nabawiy
* Kitab Majmuu’ Al Hadits ‘Ala Abwaabul Fiqhi
* Kitab Mukhtashar Asy Syarhul Kabir
* Kitab Mukhtashar Al Inshaf

Selain kitab-kitab tersebut, beliau juga memiliki banyak risalah, sebagiannya panjang lebar dan yang sebagian lainnya ringkas.

Dari Kitab Tarikh Nejed

Syaikh Husain ibnu Ghunnam

Selesai diterjemahkan Senin, 3 Jumada Ats Tsaniyyah 1428 H/ 2007 M

Di LP Sukamiskin Bandung UB 30


[1] Beliau wafat tahun 1165 h dan di antara karya tulisnya :

* Tuhfatul Anaam fil ‘Amal Bi Hadits An Nabiy ‘alaihi Afdlalush shalatu wassalaam
* Tuhfatul Muhibiin fii Syarhil Arba’iin. (Lihat ‘Unwaanul Majdi : 34)

(sumber; Ashabul kahfi site)

Baca selengkapnya......

Sabtu, 19 November 2011

Kumpulan Link menarik seputar Agama

Mengenal Hakikat Bid’ah:

Mengapa Menolak Bid’ah Hasanah?

Amalan-Amalan Bid’ah

Maulid Nabi

Amalan Di Bulan Rajab

Amalan Di Bulan Sya’ban

Lainnya:

Hari Raya Orang Kafir

Valentine’s Day

Natal Dan Tahun Baru

Lainnya :

Baca selengkapnya......
Related Posts with Thumbnails