Kehidupan Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab
Beliau adalah Muhammad ibnu Abdil Wahhab ibnu Sulaiman ibnu ‘Ali ibnu
Muhammad ibnu Ahmad ibnu Rasyid ibnu Barid ibnu Muhammad ibnu Barid ibnu
Musyrif At-Tamimiy.
Beliau dilahirkan pada tahun 1115 H di Kota ‘Uyainah yang merupakan bagian wilayah Nejed.
Di waktu kecil, beliau menimba ilmu di negerinya, yaitu ‘Uyainah.
Beliau hafal Al-Qur’an sebelum berumur 10 tahun. Beliau cerdas, pintar,
mudah hafal, fasih lagi hebat. Sulaiman –saudaranya- meriwayatkan bahwa
ayah mereka memiliki firasat yang baik padanya, sang ayah terkagum-kagum
dengan pemahaman dan kecerdasannya, padahal ia masih kecil dan ia
menceritakan hal itu dan berkata: Sesungguhnya ia mengambil dari
Muhammad –anaknya- banyak faidah hukum.
Ayah beliau menulis
kepada sebagian ikhwannya sepucuk surat yang di dalamnya ia memuji
keadaan Muhammad anaknya, menyanjung dan memuji hafalan, pemahaman serta
daya tangkapnya. Dalam surat itu ia menuturkan bahwa anaknya ini telah
baligh sebelum mencapai usia 12 tahun, ia memandangnya layak untuk
mengimami shalat jama’ah karena pengetahuannya tentang hukum-hukum yang
berkaitan dengannya, maka ayahnya pun menjadikan beliau imam dalam
shalat jama’ah bersama masyarakat. Ia menikahkannya pada umur 12 tahun
–tidak lama setelah mencapai usia baligh-, kemudian mengizinkannya untuk
menunaikan ibadah haji. Maka beliaupun berangkat haji dan menuju
Madinah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Di sana beliau menetap
selama dua bulan, kemudian pulang setelah menunaikan ziarah.
Saat itu ayahnya adalah qadli untuk wilayah ‘Uyainah, maka dalam bidang
fiqh, beliau menimba ilmu dari ayahnya sesuai madzhab Imam Ahmad.
Walaupun beliau rahimahullah masih kecil, akan tetapi beliau banyak
mengkaji kitab-kitab tafsir dan hadits serta pembahasan para ulama
prihal ashlul Islam. Karena kepiawaiannya dalam menulis, beliau dalam
suatu majelis menulis banyak buku kecil tanpa merasa lelah, sehingga
orang yang melihat tercengang karena kecepatan daya hafal dan
penulisannya.
Allah melapangkan dadanya untuk mengenal Tauhid
dan hal-hal yang membatalkannya yang menyesatkan (banyak manusia) dari
jalan-Nya, maka beliau mulai mengingkari kesyirikan yang telah menyebar
luas di Nejd, walaupun sesungguhnya sebagian manusia telah menganggap
baik apa yang beliau katakan, namun karena beliau melihat bahwa
masalahnya tidak akan tertangani oleh beliau sesuai dengan apa yang
beliau inginkan, maka beliau pergi mencari ilmu ke berbagai wilayah
sekitarnya sampai akhirnya mencapai tingkatan yang melebihi
guru-gurunya.
Maka beliau memulai dengan menunaikan ibadah haji
ke Baitullah al Haram, lalu beliau menetap di Al Madinah Al Munawarrah
untuk menimba ilmu di sana dari Syaikh Abdullah ibnu Ibrahim An Najdiy
Al Madaniy dan beliau (Syaikh Abdullah) memberinya ijazah dari dua
jalan. Beliau adalah ayah Ibrahim ibnu Abdillah, penyusun kitab Al
‘Adzbul Faa-idl fii ‘Ilmil Faraa-idl. Beliau juga menimba ilmu dari
Syaikh Muhammad Hayaat As Sindiy Al Madaniy.[1]
Kemudian beliau
keluar dari Al-Madinah menuju Nejed dan bertolak menuju Bashrah dalam
perjalannannya menuju Syam. Di Basharah, beliau mendengar hadits dan
fiqh dari banyak ulama dan di sana pula beliau mengkaji ilmu Nahwu
sampai menguasainya. Beliau juga menulis banyak ilmu bahasa (Arab) dan
hadits.
Di sela-sela waktunya, selama beliau berada di
Bashrah, beliau mengingkari apa yang beliau lihat dan beliau dengar,
berupa syirik dan bid’ah. Beliau menganjurkan manusia agar memegang
jalan yang lurus dan benar. Beliau menyebarkan Tauhid dan beliau
menyatakan dengan terang-terangan kepada manusia bahwa ibadah itu
seluruhnya hanya bagi Allah, barang siapa memalingkan sesuatu darinya
kepada selain Allah, maka dia kafir.
Bila seseorang di
majelisnya menyebutkan lambang-lambang para thaghut dan orang-orang
shalih yang mereka ibadati bersama Allah, maka beliau melarangnya,
menghentikannya dari hal itu dan menjelaskan kebenaran kepadanya, seraya
berkata kepadanya: “Sesungguhnya mencintai para wali dan orang-orang
shalih itu hanyalah dengan mengikuti tuntunan dan ajaran yang mereka
pegang dan bukan dengan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain
Allah”.
Banyak dari penduduk Bashrah datang kepadanya seraya
membawa syubuhat, maka beliau memberikan jawaban kepada mereka dengan
jawaban yang melenyapkan kesamaran dan menampakkan al-haq. Beliau selalu
mengulang-ulang kepada mereka bahwa ibadah itu seluruhnya tidak layak,
kecuali hanya bagi Allah. Sebagian mereka menganggap aneh hal itu dan
terheran-heran karena sikap pengingkaran beliau yang sangat terhadap
peribadatan kepada orang-orang shalih dan para wali, tawassul dengan
mereka di kuburan-kuburan mereka dan tempat-tempat mereka yang
dikeramatkan. Mereka mengatakan : “Bila yang dikatakan oleh orang ini
benar, maka selama ini manusia sesat”.
Tatkala hal itu
(terjadi, ed) berulang-ulang, maka sebagian penduduk Bashrah
mengintimidasinya dan mengusirnya dari Bashrah di siang hari yang panas.
Beliaupun menuju Syam, akan tetapi bekal yang beliau bawa hilang dalam
perjalanan, sehingga akhirnya beliau berbalik arah, kembali ke Nejed.
Dalam perjalanannya, beliau melewati Ahsa dan singgah di sana, yaitu di
rumah Asy Syaikh Al-‘Alim Abdullah ibnu Muhammad ibnu Abdillathif Asy
Syafi’i Al Ahsaa-i. Kemudian dari sana beliau menuju daerah Huraimila,
yang mana ayahnya (Abdul Wahhab) telah pindah ke sana dari ‘Uyainah
tahun 1139 H setelah amirnya Abdullah ibnu Ma’mar meninggal dunia dan
cucunya Muhammaf ibnu Hamd yang digelari Khurfaasy memegang kepemimpinan
sesudahnya, lalu dia mencopot Syaikh Abdul Wahhab dari jabatan qadli
‘Uyainah karena perselisihan di antara keduanya.
Syaikh
Muhammad menetap di Huraimila bersama ayahnya sambil belajar kepadanya
beberapa tahun sampai ayahnya meninggal dunia tahun 1153 H. Maka beliau
menjaharkan dakwahnya dan mengingkari dengan sangat segala fenomena
kesyirikan dan bid’ah. Beliau sungguh-sungguh dalam al amru bil ma’ruf
dan an nahyu ‘anil munkar. Beliau mengerahkan segala nasehatnya bagi
kalangan khusus dan kalangan awam, menebarkan ajaran-ajaran Islam,
memperbaharui sunnah Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam dan beliau
tidak takut -di dalam kebenaran ini- celaan orang yang suka mencela,
(beliau juga) mengingatkan manusia dan para ulama secara khusus, demi
menghindari ancaman Allah ta’ala dalam firman-Nya ta’ala:
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami
turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah
Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati
Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati”
(Al-Baqarah : 159)
Maka akhirnya nama beliau terkenal di
wilayah-wilayah ‘Aridl, yaitu Huraimila, ‘Uyainah, Dir’iyyah, Riyadl dan
Manfuhah, sehingga banyak orang berdatangan kepadanya. Mereka menjadi
jama’ah dan mentauladaninya, mengikuti jalannya dan ber-mulazamah serta
belajar kepadanya dalam bidang hadits, fiqh dan tafsir. Di tahun-tahun
itu beliau menyusun “Kitab At-Tauhid”.
Dalam menyikapi beliau,
manusia terbagi menjadi dua kelompok: Satu kelompok mengikuti dan
membai’atnya serta setia terhadap apa yang beliau da’wahkan, sedangkan
kelompok lain memusuhinya, memeranginya dan mengingkari apa yang beliau
bawa, sedangkan mereka itu adalah mayoritas manusia.
Saat itu
para pemimpin kawasan Huraimila adalah dua kabilah yang keduanya berasal
dari satu kabilah dan masing-masing mengklaim bahwa dirinyalah yang
memiliki kekuatan, dominasi dan pemerintahan yang tertinggi serta mereka
tidak memiliki satu pimpinan yang mengendalikan semua.
Di
negeri itu ada banyak budak milik salah satu kabilah tadi. Mereka sangat
jail dan bejat. Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab menginginkan agar
mereka dihalangi dari kerusakan dan diberlakukan kepada mereka al amru
bil ma’ruf wa nahyu ‘anil munkar, akan tetapi mereka malah berupaya
membinasakan Syaikh dan membunuhnya secara diam-diam di malam hari.
Kemudian tatkala mereka memanjat dinding untuk menghabisi beliau,
orang-orang memergokinya lalu meneriakinya sehingga merekapun kabur
melarikan diri.
Syaikh akhirnya pindah dari Huraimila ke
‘Uyainah, sedang pemimpinnya saat itu adalah Utsman ibnu Hamd ibnu
Ma’mar, maka iapun memuliakan Syaikh dan di sana beliau menikahi
Jauharah puteri Abdullah ibnu Ma’mar.
Tatkala syaikh memaparkan
dakwahnya kepada Utsman, maka iapun mengikutinya dan mendukungnya serta
mengharuskan kalangan khusus dan umum untuk melaksanakan perintahnya.
Di daerah ‘Uyainah dan sekitarnya ini terdapat banyak kubah, mesjid dan
bangunan yang dibangun di atas kuburan sahabat dan para wali serta
pohon-pohon yang mereka keramatkan dan mereka bertabarruk dengannya;
seperti kubah kuburan Zaid Ibnul Khaththab di Jubailah, pohon Quraiwah,
Abu Dujanah dan Dzaib.
Maka Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab
dan Utsman ibnu Ma’mar beserta banyak jama’ahnya keluar menuju
tempat-tempat itu dengan membawa cangkul, terus mereka menebang
pohon-pohon, menghancurkan bangunan-bangunan dan kubah yang di atas
kuburan itu serta mereka membenahinya sesuai tuntunan Sunnah. Sedangkan
Syaikh sendiri beliaulah yang menghancurkan sendiri kubah kuburan Zaid
Ibnul Khaththab dan begitu juga beliau bersama sahabat-sahabatnya
menebang pohon Dzaib. Sedangkan pohon Quraiwah ditebang oleh Tsunayyan
ibnu Su’ud, Musyariy ibnu Su’ud, Ahmad ibnu Suwailim serta yang lainnya.
Begitulah akhirnya tidak tersisa satupun berhala di negeri yang
dikuasai oleh Utsman, sehingga kalimatul haq melambung tinggi dan sunnah
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pun dihidupkan. Kemudian
tatkala hal itu terkenal dan tersiar luas serta menjadi pembicaraan para
pelancong, maka hati manusia -yang sudah dipastikan adzab baginya-
mengingkarinya dan mengatakan seperti apa yang sudah dikatakan oleh
orang-orang terdahulu:
“Mengapa dia menjadikan tuhan-tuhan itu
Tuhan Yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang
sangat mengherankan”(Shaad: 5)
Maka mereka bersekongkol untuk
membantah, mengingkari, menyudutkan dan memeranginya. Mereka menulis
surat kepada ulama Ahsaa, Bashrah dan Al-Haramain seraya memanas-manasi
mereka terhadapnya. Dalam hal itu mereka juga dibantu oleh orang-orang
bejat dan orang-orang sesat dari kalangan ulama negeri-negeri itu.
Mereka menulis banyak buku dalam memvonis beliau sebagai seorang ahli
bid’ah, sesat, merubah ajaran dan sunnah, bodoh dan binasa.
Mereka mengompori kalangan khusus dan kalangan awam terhadapnya,
terutama para pemimpin dan penguasa. Mereka mengklaim bahwa Syaikh dan
para pengikutnya itu tidak memiliki jaminan dan keterjagaan (darah dan
harta), karena sebab menolak sunnah Rasulullah saw dan merubah ajaran
agama. Mereka menakut-nakuti para pemimpin dan penguasa darinya. Mereka
mengklaim bahwa beliau mendoktrin orang-orang bodoh dan para pengekor
dengan pendapatnya, serta beliau memperdaya mereka dengan pahamnya
sehingga mereka akhirnya berani membangkang dan menentang pemimpin dan
pemerintah mereka.
Syaikh -rahimahullah- sabar menghadapi apa
yang mereka katakan lagi mengharapkan pahalanya di sisi Allah, seraya
menghibur diri dengan apa yang dialami oleh kaum muwahhidun sebelumnya
dan dengan berbagai ujian yang dihadapi kaum mu’minin serta segala
konspirasi kaum musyrikin dan orang-orang sesat terhadap mereka. Ini
adalah sunnatullah ta’ala pada hamba-hamba-Nya yang selalu berlaku di
semua zaman, yang dengannya Allah menguji orang-orang mu’minin dan
menyeleksi orang-orang yang bersabar. Allah ta’ala berfirman:
“Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan
(saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?
Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka
sesunggguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta” (Al-Ankabut: 1-3)
Syaikh rahimahullah tetap bermukim di ‘Uyainah. Beliau menegakkan amar
ma’ruf dan nahyi munkar. Beliau mengajari manusia tentang dien mereka,
melenyapkan segala bid’ah yang beliau mampu. Beliau menegakkan hudud dan
memerintahkan pemimpin untuk menegakkannya.
Sampai akhirnya,
beliau didatangi oleh seorang wanita dari penduduk ‘Uyainah yang telah
melakukan zina dan dia mengakui perbuatan zinanya tersebut terhadap
dirinya sendiri. Pengakuan itu (diungkapkan,ed) berulang kali, hingga
empat kali… Maka Syaikhpun berpaling darinya.
Kemudian wanita
itu kembali mengakuinya berulang-ulang, maka Syaikhpun menanyakan
tentang akalnya. Beliaupun diberi tahu akan kesempurnaan dan kesehatan
akalnya. Kemudian beliau menangguhkannya beberapa hari, dengan harapan
dia menarik kembali pengakuannya, akan tetapi dia tetap bersikukuh di
atas pengakuannya.
Wanita itu mengakui sebanyak empat kali
dalam empat hari berturut-turut. Maka Syaikh rahimahullahmemerintahkan
pemimpin untuk merajamnya, karena dia muhshanah, dengan cara: Pakaiannya
diikatkan pada badannya, lalu dirajam dengan batu sesuai cara yang
disyari’atkan. Sang pemimpin, yaitu Utsman ibnu Ma’mar dan sejumlah kaum
muslimin keluar untuk merajamnya sampai wanita itu meninggal dunia.
Orang pertama yang merajamnya adalah Utsman sendiri. Tatkala wanita itu
telah meninggal dunia, maka Syaikh memerintahkan agar mereka memandikan,
mengkafani dan menshalatkannya.
Ketika kejadian ini sudah
berlalu, maka bermunculanlah komentar-komentar ahli bid’ah dan
orang-orang sesat. Mereka cemas dan takut, khawatir dan gundah. Maka
lisan-lisan para ulama menjulur, mengingkari apa yang beliau lakukan,
padahal beliau tidak melampaui hukum yang disyari’atkan dengan As-Sunnah
dan ijma.
Tatkala mereka tidak mampu membantah hujjah-hujjah
yang beliau utarakan, maka mereka beralih membantahnya dengan makar dan
tipu daya. Mereka mengadukannya kepada sesepuh (tokoh) mereka, yaitu
Sulaiman Alu Muhammad, pemimpin Banu Khalid dan Ahsa. Mereka
mengomporinya dengan mengatakan kepadanya:“Sesungguhnya orang ini ingin
menjatuhkan anda dari kekuasaan dan berupaya menghentikan urusan yang
anda jalankan serta menghapuskan pajak dan upeti”
Ketika mereka
menakut-nakutinya dengan hal itu, maka Sulaiman Alu Muhammad menulis
surat kepada Utsman ibnu Ma’mar seraya memerintahkannya agar membunuh
Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab atau mengusirnya dari negerinya. Dia
memojokkan dan mengancam Utsman, bahwa bila tidak melaksanakan hal itu,
maka dia akan memutuskan upeti yang ada padanya di Ahsa –sedang itu
adalah upeti yang sangat banyak- serta dia mengancamnya akan merampas
semua harta Utsman yang ada padanya.
Tatkala surat Sulaiman
diterima Utsman, maka Utsman merasa terpukul sehingga dia lebih
mengedepankan dunia atas dien ini dan memerintahkan Syaikh Muhammad ibnu
Abdil Wahhab agar keluar dari ‘Uyainah.
Maka Syaikhpun keluar
meninggalkan ‘Uyainah pada tahun 1158 H menuju daerah Dir’iyyah. Pada
malam pertama beliau singgah di rumah Abdullah ibnu Suwailim, kemudian
di hari ke dua beliau pindah ke rumah muridnya, Syaikh Ahmad ibnu
Suwailim.
Saat hal itu didengar oleh amir Muhammad ibnu Su’ud,
maka ia dan kedua saudaranya Tsunayyan dan Musyariy segera
menghampirinya di rumah Ahmad ibnu Suwailim, Ia mendatanginya dan
mengucapkan salam terhadap beliau. Ia sangat memuliakan dan
mengagungkannya serta ia mengabarkan kepadanya bahwa ia akan
melindunginya seperti ia melindungi isteri-isteri dan anak-anaknya.
Maka Syaikh mengabarkan kepadanya apa yang dibawa dan didakwahkan
Rasulullah saw, juga apa yang dipegang oleh para sahabat beliau
sesudahnya serta apa yang diperintahkan dan dilarang Rasulullah terhadap
mereka. Syaikh juga mengabarkan bahwa setiap bid’ah adalah kesesatan
serta bahwa kejayaan dan kekayaan yang Allah berikan kepada mereka
dengan sebab jihad fi sabilillah dan juga Dia jadikan mereka sebagai
saudara. Kemudian Syaikh memaparkan kepadanya tentang realita yang
dilakukan penduduk Nejed di zamannya, yaitu berupa penyelisihan mereka
terhadap ajaran Rasulullah saw dengan penyekutuan Allah ta’ala, berbagai
bid’ah, perselisihan dan kezhaliman.
Tatkala amir Muhammad
ibnu Su’ud benar-benar mengenal tauhid dan mengetahui mashlahat
dieniyyah dan duniawiyyah yang ada di dalamnya, maka ia berkata kepada
Syaikh: “Wahai Syaikh, sesungguhnya ini adalah dienullah wa rasulihi
yang tidak ada keraguan di dalamnya, maka berbahagialah dengan dukungan
bagimu dan bagi apa yang engkau perintahkan serta jihad melawan
orang-orang yang menyelisihi tauhid.
Akan tetapi, saya ingin
mensyaratkan dua hal kepada engkau, (yaitu): Bila kami telah berdiri
membelamu dan berjihad di jalan Allah serta Allah telah memberikan
kemenangan bagi kita, saya khawatir engkau pergi meninggalkan kami dan
engkau menggantikan kami dengan orang lain dan ke dua: Selama ini saya
memungut upeti dari dari penduduk Dir’iyyah di setiap musim panen dan
saya khawatir engkau mengatakan “jangan mengambil sesuatupun dari
mereka””.
Maka Syaikh rahimahullah berkata: “Adapun syarat
yang pertama, maka ulurkan tanganmu ~Darah dengan darah, jaminan dengan
jaminan~, dan adapun syarat yang ke dua, maka mudah-mudahan Allah
membukakan banyak penaklukan bagimu sehingga Allah memberikan ganti
kepadamu berupa ghanimah yang lebih baik dari apa yang diambil dari
mereka”.
Maka amir Muhammad mengulurkan tangannya dan membai’at
Syaikh di atas agama Allah dan Rasul-Nya, jihad di jalan-Nya, penegakan
syari’at Islam, serta al amru bil ma’ruf wan nahyu ‘anil munkar.
Kemudian syaikh bangkit dan masuk ke negeri itu bersamanya serta menetap
di sana.
Di antara orang-orang yang terkenal mendukung dan
membelanya dari kalangan saudara-saudara amir Muhammad, para pembantunya
dan jajaran aparatnya dari penduduk Dir’iyyah adalah :Tsunayyan ibnu
Su’ud, Musyari ibnu Su’ud, Farhan ibnu Su’ud, Syaikh Ahmad ibnu
Suwailim, Syaikh Isa ibnu Qasim, Muhammad Al Hazimiy, Abdullah ibnu
Dughaitsir, Sulaiman Al Wusyaiqiriy, Hamd ibnu Husain, dan saudaranya
Muhammad serta yang lainnya.
Syaikh telah menetap dua tahun di
Dir’iyyah. Beliau membimbing manusia dan mengarahkan mereka ke jalan
yang benar. Di sela-sela itu, berdatanganlah kepadanya para pendukung
beliau dari ‘Uyainah secara diam-diam, di antaranya: Abdullah ibnu
Muhsin, dan kedua saudaranya, Zaid dan Sulthan dari Banu Ma’mar,
Abdullah ibnu Ghunnam dan saudaranya, Musa.
Ikut hijrah pula
bersama mereka sejumlah besar para sesepuh Banu Ma’mar yang menyelisihi
Utsman ibnu Ma’mar di ‘Uyainnah. Begitu juga orang-orang yang berasal
dari wilayah-wilayah sekitarnya ikut hijrah bersama mereka, saat
mengetahui bahwa Syaikh telah menetap di Dir’iyyah serta mendapat
dukungan dan perlindungan.
Tatkala Utsman ibnu Ma’mar
mengetahui semua itu, maka ia menyesal terhadap apa yang telah ia
lakukan berupa pengusiran Syaikh dan sikap tidak membelanya dan ia juga
menjadi mengkhawatirkan banyak hal dari Syaikh. Akhirnya ia pun bersama
sejumlah penduduk ‘Uyainah dan sesepuh-sesepuhnya berangkat mendatangi
Syaikh di Dir’iyyah. Ia menginginkan Syaikh kembali bersamanya dan ia
menjanjikan dukungan dan pembelaan baginya, maka Syaikh berkata: “Hal
ini bukan kepada saya, akan tetapi kepada Muhammad ibnu Su’ud, bila ia
ingin saya pergi bersamamu, maka saya pergi dan bila ia ingin saya
menetap padanya, maka saya menetap dan saya tidak mungkin menggantikan
seseorang yang telah menyambut saya penuh penerimaan dengan orang lain,
kecuali ia mengizinkannya bagi saya”.
Kemudian Utsmanpun
mendatangi Muhammad ibnu Su’ud, namun ia menolak permintaannya. Tatkala
ia tidak mendapatkan apa yang diinginkannya, maka ia kembali pulang ke
negerinya seraya menyembunyikan permusuhan, niat jahat dan khianat,
walaupun ia menampakkan sikap dukungan kepada al-haq dan dukungan kepada
syaikh dan amir Muhammad. Tipu dayanya pun terjadi berulang-ulang dan
nampaklah kemunafikannya serta terbongkarlah niat busuknya, maka
akhirnya sejumlah ahlut tauhid membunuhnya setelah selesai shalat Jum’at
di tempat shalatnya di dalam mesjidnya di ‘Uyainah tahun 1163 H
sebagaimana yang akan dijabarkan nanti.
Syaikh menulis surat
memaparkan dakwahnya kepada berbagai penduduk negeri dan para sesepuh
mereka serta para pengaku ilmu di tengah mereka, maka di antara mereka
ada yang menerima al haq dan mengikutinya dan ada juga yang malah
melecehkan dan memperolok-oloknya. Mereka menuduh beliau bodoh dan
kadang menuduhnya tukang sihir serta menuduhnya dengan hal-hal yang
padahal beliau berlepas diri dari semua itu.
Syaikh
rahimahullah tetap teguh mengajak manusia kepada jalan Tuhannya dengan
hujjah yang nyata dan dengan pelajaran yang baik. Beliau tidak serta
merta mengkafirkan seorangpun dan tidak memulai menyerang seorangpun,
namun beliau menahan diri dari itu semua sebagai sikap wara’ darinya dan
pengharapan Allah memberi hidayah kepada orang-orang yang sesat.
Sampai akhirnya mereka semua malah bangkit memusuhi dan mengkafirkan
beliau dan jama’ahnya secara terang-terangan di seluruh pelosok negeri
serta menghalalkan darah mereka, sedangkan mereka tidak membuktikan
klaim batil mereka tersebut dengan satu hujjahpun dari Kitabullah atau
Sunnah Rasul-Nya. Mereka tidak peduli dengan kebohongan dan kepalsuan
yang mereka tuduhkan kepada Syaikh dan tidak peduli pula dengan
cara-cara yang mereka gunakan untuk mengusir beliau dan jama’ahnya dari
negeri itu serta pengejaran mereka dengan disertai penyiksaan dan
penindasan.
Ya, memang beliau rahimahullah tidak memerintahkan
untuk menumpahkan darah dan memerangi mayoritas orang-orang sesat dan
budak hawa nafsu sampai mereka sendiri yang lebih dulu memerangi dan
mengkafirkan beliau dan para sahabatnya, maka saat itu Syaikh
memerintahkan jama’ahnya untuk berjihad. Beliau mengobarkan semangat
para pengikutnya untuk berjihad, maka merekapun melaksanakan perintah
beliau.
Beliau selalu ber-munajat kepada Allah yang telah
menganugerahkan karunia Tauhid ini agar melapangkan dada kaumnya untuk
menerima al-haq dan menghindarkan kejahatan mereka dengan daya dan
kekuatan-Nya serta memalingkan tindakan jahat mereka darinya.
Dalam menyikapi mereka beliau selalu mengambil sikap pemaaf dan lapang
dada. Hal yang paling beliau sukai adalah bila seseorang di antara
mereka meminta maaf kepada beliau, maka beliau lekas memaafkannya.
Beliau tidak pernah membalas dendam kepada seorangpun setelah beliau
menang dan menguasainya.
Seandainya (dulu, ed) Allah
memberikan kesempatan kepada mereka untuk membinasakan beliau, tentulah
mereka menghabisi dan mencincang beliau. Sungguh beliau mengetahui benar
hal itu, namun beliau tidak pernah melampiaskan dendam setelah beliau
menguasai dan meraih kemenangan, yaitu di saat mereka datang kepada
beliau dengan berbondong-bondong seraya tunduk patuh, baik suka maupun
terpaksa.
Beliau justeru menyikapinya dengan kasih sayang
sehingga beliau berpaling dari apa yang pernah mereka lakukan terhadap
beliau, seolah tidak pernah ada apa-apa dari mereka. Beliau menampakkan
kepada mereka sikap ramah dan akrab serta sikap baik, pemberian dan
pemuliaan. Akhlaq semacam ini tidak dapat digapai, kecuali oleh
orang-orang yang baik dan mulia, ulama hebat yang Allah hiasi dengan
taqwa, manfaat dan hidayah.
Syaikh terus dalam perjalanannya
sedangkan kendali urusan, pengambilan dan pemberian, pengedepanan dan
pengakhiran ada di tangannya. Tidak ada sesuatu pasukanpun yang
diberangkatkan dan tidak muncul satu pendapatpun dari Muhammad ibnu
Su’ud dan puteranya, yaitu ‘Abdul ‘Aziz, melainkan berasal dari ucapan
dan pendapat beliau.
Kemudian takala Allah memberikan bagi
mereka kemenangan atas Riyadh ~sebagaimana yang akan dijelaskan nanti~
dan wilayah Islam meluas serta perjalanan menjadi aman juga semua
kawasan badui dan kota tunduk. Maka Syaikh menjadikan kendali urusan di
tangan ‘Abdul ‘Aziz ibnu Muhammad ibnu Su’ud. Beliau menyerahkan urusan
kaum muslimin dan Baitul Mal kepadanya, beliau melepaskan diri dari
sibuk dengannya dan beliau menyibukkan diri dengan ibadah dan pengajaran
ilmu. Akan tetapi ‘Abdul ‘Aziz tidak memutuskan suatu urusanpun tanpa
menyertakan beliau dan tidak melaksanakannya kecuali dengan izinnya.
Beliau rahimahullah menghidupkan mayoritas malamnya dengan qiyamullail.
Beliau shalat tahajjud dan membaca Al-Qur’an. Sikap beliau hati-hati
dan penuh pengkajian dalam pelaksanaan berbagai putusan. Hawa nafsu
tidak memalingkannya dari syari’at dan permusuhan tidak menghalanginya
dari al haq. Beliau memutuskan dengan putusan yang nampak kebenaran ~di
hadapan beliau~ di dalamnya. Bila beliau mendapatkan suatu nash dari
Kitabullah atau Sunnah Nabi-Nya shallallaahu ‘alaihi wasallam, maka
beliau memegangnya dan tidak berpaling darinya, bila tidak, maka beliau
merujuk pada Kitab-Kitab Imam yang empat serta beliau mengkajinya dengan
penuh kejelian, penelitian dan pembahasan.
Walaupun Allah
memberikan limpahan karunia terhadap Baitul Mal dari harta-harta
rampasan, akan tetapi beliau rahimahullah zuhuddan menjaga diri, tidak
memakan harta itu, kecuali dengan ma’ruf. Beliau adalah orang yang
dermawan, tidak pernah menolak orang yang meminta dan beliau tidak
meninggalkan sedikitpun harta yang bisa dibagikan di antara ahli
warisnya, bahkan justeru beliau memiliki banyak utang yang Allah telah
membayarkannya…
Allah Ta’ala telah memilihnya untuk kembali
kehadirat-Nya di hariSenin akhir Syawwal 1206 H dalam usia kurang lebih
92 tahun. Semoga Allah Ta’ala merahmatinya dengan rahmat yang luas dan
memasukkan beliau ke dalam surga-Nya serta membalas kebaikan atas
jasanya bagi Islam dan muslimin, sebagai balasan syari’at Allah yang
beliau hidupkan dan Sunnah Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wasallam yang
beliau kembalikan.
Karya tulis beliau di antaranya:
* Kitabut Tauhid Fiimaa Yajibu Min Haqqillah ‘Alal ‘Abiid
* KItabul Kabaa-ir
* Kitab Kasyfusy Syubuhat
* Kitab As Sirah Al Mukhtasharah
* Kitab As Sirah Al Muthawwalah
* Kitab Mukhtashar Al Hadyu An Nabawiy
* Kitab Majmuu’ Al Hadits ‘Ala Abwaabul Fiqhi
* Kitab Mukhtashar Asy Syarhul Kabir
* Kitab Mukhtashar Al Inshaf
Selain kitab-kitab tersebut, beliau juga memiliki banyak risalah, sebagiannya panjang lebar dan yang sebagian lainnya ringkas.
Dari Kitab Tarikh Nejed
Syaikh Husain ibnu Ghunnam
Selesai diterjemahkan Senin, 3 Jumada Ats Tsaniyyah 1428 H/ 2007 M
Di LP Sukamiskin Bandung UB 30
[1] Beliau wafat tahun 1165 h dan di antara karya tulisnya :
* Tuhfatul Anaam fil ‘Amal Bi Hadits An Nabiy ‘alaihi Afdlalush shalatu wassalaam
* Tuhfatul Muhibiin fii Syarhil Arba’iin. (Lihat ‘Unwaanul Majdi : 34)
(sumber; Ashabul kahfi site)
Jumat, 25 November 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar