Rabu, 23 September 2009

Perbedaan pokok antara Islam dan Tasawwuf ( Sufi "1" )

Manhaj dan jalan Islam berbeda sama sekali dengan manhaj Tasawwuf, dan perbedaan itu mengenai hal yang sangat mendasar. Yaitu perbedaan dalam hal sumber-sumber pengambilan agama dalam aqidah dan syari'ah. Demikian penegasan Abdur Rahman Abdul Khaliq dalam buknya Fadhoihus Shufiyyah (Cemar-cemarnya Sufisme), Maktabah Ibnu Taymiyyah, Kuwait, 1404H/ 1984M, halaman 43.

Dijelaskan, Islam menjadikan sumber pengambilan aqidah terbatas pada wahyu yang diberikan kepada para Nabi dan Rasul saja, yang hal itu yang kita miliki adalah Al-Quran dan As-Sunnah (Hadits Nabi SAW) saja. Adapun agama sufisme (Ad-Dienus Shuufii) --istilah Abdur Rahman Abdul Khaliq-- yang mereka jadikan sumbernya adalah bisikan yang didakwakan datang kepada para wali, dan kasyf (terbukanya tabir hingga mereka tahu yang ghaib) yang mereka dakwakan, dan tempat-tempat tidur (mimpi-mimpi), perjum­paan dengan orang-orang mati yang dulu-dulu, dan (mengaku berjumpa) dengan Nabi Khidhir 'alaihis salaam, bahkan dengan melihat Lauh Mahfudh, dan mengambil (berita) dari jin yang mereka namakan para badan halus (ruhaniyyin).

Adapun sumber pengambilan syari'at bagi ahli Islam adalah Al-Kitab (Al-Quran), As-Sunnah (Al-Hadits), Ijam' (kesepakatan para ulama terdahulu generasi awal Islam), dan qiyas (perbandingan, yaitu pengambilan hukum dengan membandingkan kepada hukum yang sudah ada ketegasannya dari nash/ teks Al-Quran atau Al-Hadits, dengan syarat kasusnya sama, misalnya beras bisa untuk zakat fitrah karena diqiaskan dengan gandum yang sudah ada nash hadit­snya).

Sedangkan bagi orang-orang tasawwuf, pembuatan syari'at mereka didirikan di atas mimpi-mimpi (tidur), Khidhir, jin, orang-orang mati, syeikh-syeikh, semua mereka itu dijadikan pembuat syari'at. Oleh karena itu jalan-jalan dan cara-cara pembuatan syari'at tasawwuf itu bermacam-macam. Sampai-sampai mereka mengatakan: Jalan-jalan menuju Allah itu sebanyak bilangan nafas makhluk-makhluk. Maka tiap-tiap syeikh memiliki tarekat dan manhaj/ jalan untuk pendidikan dan dzikir khusus, lambang-lambang khusus, dan ungkapan-ungkapan khusus. Maka tasawwuf itu adalah ribuan agama, aqidah, dan syari'at; bahkan ratusan ribu tidak terhitung banyaknya, semuanya itu di bawah apa yang dinamakan tasawwuf.

Dan inilah perbedaan asasi (pokok/ dasar) antara Al-Islam dan tasawwuf. Islam itu agama yang muhaddad (ditegaskan batasan ketentuan) aqidahnya, ibadahnya, dan syari'atnya. Sedangkan tasawwuf itu agama yang tidak ada batasannya, tidak ada pengertian (yang ditentukan secara pasti) dalam aqidah ataupun syari­'at-syari'atnya. Inilah perbedaan yang paling besar antara Al-Islam dan tasawwuf. (Fadhoihus Shufiyyah, hal 43-44).

Garis-garis Besar Aqidah Sufisme

1. Aqidah sufisme mengenai Allah:

Orang-orang tasawwuf percaya kepada Allah dengan aqidah-aqidah yang macam-macam di antaranya al-hulul (inkarnasi, penitisan/ penjelmaan Tuhan dalam diri manusia) seperti pendapat Al-Hallaj (menyebabkan ia memaklumkan dirinya sebagai "kebenaran" dengan ucapan "anal Haq" = Akulah Kebenaran. Al-Haq adalah salah satu nama Tuhan. Dengan perkataannya itu berarti ia mengaku: "Akulah Tuhan." )

Faham Hulul, faham yang menyatakan, bahwa Tuhan telah memilih tubuh-tubuh manusia tertentu sebagai tempat-Nya, setelah sifat-sifat kemanusiaan dalam tubuh tersebut dihilangkan. Faham Hulul dalam tasawwuf ditimbulkan oleh Husein Ibnu Manshur al-Hallaj (lahir di Persia tahun 858M) yang mengajarkan bahwa: Allah memiliki dua (2) sifat dasar (natur), yaitu sifat ke-Tuhan-an (lahuut) dan sifat kemanusiaan (Nasuut). Hal tersebut dilihat dari teori kejadian makhluk-Nya, sebagai berikut: Sebelum Tuhan menciptakan makhluk, Ia hanya melihat diriNya sendiri. Dalam kesendirian-Nya itu, terjadilah dialog antara Tuhan dengan diriNya.

Dialog yang dalam, tidak terdapat dalam kata-kata ataupun huruf-huruf. Yang dilihat Allah hanya kemuliaan dan ketinggianNya dan Allah pun cinta pada zatNya sendiri. Cinta yang tidak dapat disifatkan dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab dari yang banyak dan Ia-pun mengeluarkan dari yang tiada, bentuk (copy) diri-Nya, yang mempunyai segala sifat dan namaNya, dan

bentuk (copy) tersebut adalah Adam, dan seterusnya. Setelah Adam tercipta dengan cara-Nya, maka Ia sangat mencintai dan memulia­kannya di syurga dan sebagai khalif di bumiNya. (Drs Shodiq SE, Kamus Istilah Agama, CV Sienttarama Jakarta, cetakan kedua, 1988, hal 122-123).

Kemudian akibat pendapatnya yang mengandung kemusyrikan itu maka Al-Hallaj yang lahir di Fars, Parsi (Iran) 244H/ 858M ini dihukum bunuh pada tanggal 24 Zulqa'dah tahun 309H/ 26 Maret 922M, di Baghdad di bawah kekhalifahan Abbasiyah, khalifah ke-18 dari 37 khalifah, Al-Muqtadir bi 'l-lah (Ja'far Abu 'l-Fadhl, yang berkuasa pada tahun 295-320H/ 908-932M. Selain Al-Hallaj dituduh membawa paham yang menyesatkan (paham hulul), ia juga dituduh mempunyai hubungan dengan Syi'ah Qaramitah, suatu kelom­pok Syi'ah garis keras yang dipimpin oleh Hamdan bin Qarmat yang menentang pemerintahan Dinasti Abbasiyah sejak abad ke-10 sampai abad ke-11. (lihat Ensiklopedi Islam, Kafrawi Ridwan dkk ed, PT Ichtiar Baru van Hoeve Jakarta, cet V, 1999, huruf H, hal 74-75).

Sumber lain menyebutkan, Abu Mughits Al-Husein bin Mansur Al-Hallaj (244-309H) dilahirkan di Persia, seorang cucu dari penganut Zoroaster, dibesarkan di Irak. Tokoh inilah yang terkenal dengan "Hululiyin" (para penganut faham panteisme) dan "Ittihadiyyin" (para penganut faham manunggaling kawula gusti). Ia ditu­duh kafir, dibunuh dan disalib karena 4 perkara yang dituduhkan kepadanya:

1. Karena berhubungan dengan orang-orang Qaramithah (Syi'ah ekstrim).
2. Karena ucapannya: "Aku adalah Tuhan Yang Haq."
3. Karena pengikutnya meyakini akan ketuhanan dirinya.
4. Karena pendapatnya tentang haji, bahwa haji ke Baitullah tidak termasuk suatu kewajiban yang harus dilaksanakan.

Tentang kepribadiannya, banyak hal-hal yang tidak jelas. Pertama sikapnya yang sangat keras kepala, membangkang, dan ekstrim. Ia mengarang buku "Al-Thawwasin", yang diteliti dan diterbitkan kembali oleh Louis Massignon (seorang orientalis).

(Lembaga Pengkajian dan Penelitian WAMI, Al-Mausu'ah al-Muyassarah fil Adyan wal Madzaahib al Mu'ashirah, diterjemahkan A Najiyulloh menjadi Gerakan Keagamaan dan Pemikiran, Akar Ideologis dan Penyebarannya, Al-Ishlahi Press, Cet I, 1995, jilid II, hal. 259).

Ulama yang hidup pada masa itu di antaranya At-Thabari ahli tarikh/ sejarah (w 923M/ tidak menemui disalibnya Al-Hallaj 932M). Al-Asy'ari (260-324H) ahli ilmu kalam yang pernah berfaham Mu'tazilah selama sekitar 40 tahun, kemudian berubah ke faham yang kini disebut Asy'ariyyah atau Asya'irah, dan kemudian rujuk ke Manhaj (jalan) Salaf (sahabat, tabi'ien dan tabi'it tabi'in) dengan menyusun Kitab Al-Ibanah, kitab Tauhid yang Manhajnya Salaf, namun para pengikut kini merujuknya bukan ke yang Salaf itu tapi ke yang Asy'ariyah yang berdekatan dengan faham Maturi­diyah. Beliau wafat tahun 935M, berarti masih hidup selama 3 tahun setelah disalibnya Al-Hallaj 932M. Sedang Junaid Al-Baghda­di, mufassir shufi pertama, meninggal tahun 910M, saat itu Al-Hallaj baru berumur 2 atau 3 tahun, yang kemudian ketika umur 25 tahun Al-Hallaj dibunuh dan disalib di jembatan Baghdad lantaran fahamnya yang dinilai sangat membahayakan Islam.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts with Thumbnails